Abdi Khairil S.Sos.,M.Si.
Pendamping Sosial PKH
Setiap kali bantuan sosial (bansos) disalurkan, hampir selalu ada pertanyaan yang muncul di tengah masyarakat: “Kenapa si anu dapat bantuan padahal rumahnya bagus, sementara yang rumahnya lebih sederhana tidak?” Pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi menyimpan masalah serius di baliknya yaitu soal akurasi data dan kejujuran masyarakat dalam proses pendataan.
Masyarakat awam biasanya menilai kemiskinan hanya dari tampilan luar. Rumah yang catnya kusam dianggap miskin, sementara rumah bertingkat dengan keramik mengilap dianggap kaya.
Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu. Dalam sejumlah ground check dan survei lapangan yang dilakukan pendamping sosial, banyak sekali responden yang memberikan jawaban tidak jujur.
Misalnya, ketika ditanya soal kepemilikan sawah, sebagian hanya menyebutkan lahan orang lain yang sedang dikerja, bukan yang dimiliki.
Ada yang mengaku hanya buruh tani, padahal bukti SPPT menunjukkan kepemilikan tanah cukup luas. Bahkan, ada warga yang rumahnya memang sederhana tetapi memiliki tabungan hingga ratusan juta rupiah, cukup untuk naik haji plus.
Dalam kasus lain, listrik rumahnya berdaya besar lengkap dengan kulkas, dan peralatan elektronik namun tetap mengaku miskin ketika didata.
Celakanya, proses pendataan bansos selama ini masih mengandalkan pernyataan warga.
Apa yang mereka katakan, itulah yang dicatat. Akibatnya, lahirlah dua masalah klasik: inclusion error (orang yang seharusnya tidak layak justru menerima) dan exclusion error (orang yang benar-benar miskin justru terlewat).
Dari sinilah ketidakadilan sosial terasa begitu nyata di masyarakat.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya memperbaiki sistem ini. Beberapa indikator tambahan mulai digunakan, seperti jumlah tabungan di bank, kapasitas listrik yang dipakai, kepemilikan aset tanah, kendaraan bermotor dan mobil hingga kepemilikan emas.
Dengan kerja sama lintas lembaga, data bisa diperoleh lebih akurat. Misalnya, PLN bisa memberikan informasi daya listrik rumah tangga, PPATK menelusuri jejak rekening penerima bansos, dan Samsat menyajikan data kendaraan bermotor.
Bahkan ada kasus ditemukan pegawai BUMN yang masih menerima bansos, atau penerima bansos yang ternyata aktif berjudi online.
Namun, perbaikan sistem saja tidak cukup tanpa adanya kejujuran dari masyarakat. Ada yang sengaja tetap memasang listrik atas nama orang tua agar bisa menikmati tarif subsidi, atau tidak mau mengakui kepemilikan tanah karena masih tercatat atas nama keluarga. Semua trik ini membuat pendataan semakin rumit.
Oleh karena itu, ada dua pekerjaan rumah besar yang perlu diselesaikan. Pertama, integrasi data lintas lembaga harus terus diperkuat. Kolaborasi antara pertanahan, perbankan, PLN, dan Samsat dapat memperkecil ruang manipulasi data.
Dengan begitu, profil ekonomi warga bisa dilihat secara lebih menyeluruh, tidak hanya dari pengakuan sepihak.
Kedua, yang lebih penting adalah membangun budaya kejujuran di masyarakat.
Program bansos tidak akan pernah tepat sasaran jika warga masih berlomba-lomba “memiskinkan diri di atas kertas” hanya demi mendapatkan bantuan. Padahal, setiap rupiah bansos yang jatuh ke tangan orang yang tidak berhak sama saja merampas hak orang lain yang benar-benar membutuhkan.
Akhirnya, kita harus ingat kembali esensi dari bansos: ia hadir sebagai jaring pengaman sosial untuk masyarakat miskin dan rentan, bukan sebagai ladang keuntungan bagi mereka yang pandai bersembunyi di balik data.
Jika kejujuran bisa ditegakkan, dan sistem verifikasi semakin kuat, maka harapan bansos yang benar-benar tepat sasaran bukanlah hal yang mustahil. (*)