Iklan

KUHP Baru dan Batas Demokratis Kewenangan Negara Menghukum

tim redaksi timurkotacom
Senin, Desember 22, 2025 | 7:55 AM WIB Last Updated 2025-12-22T00:55:32Z

Oleh Darwis Tahang, SH.,MH.,MM
Akademisi dan Pegiat Demokrasi



Keberlakuan UU No 1 tahun 2023 sebagai KUHP Nasional yang akan berlaku pada tanggal 2 Januari 2026 tidak dapat dipahami semata sebagai penggantian KUHP colonial atau lama, melainkan sebagai perubahan paradigma mendasar dalam cara negara memaknai pemidanaan. 

Dalam konteks ini, Pasal 36 KUHP Nasional menempati posisi sentral sebagai penanda kebaruan tersebut. 

Dengan merumuskan secara eksplisit bahwa tidak seorang pun dapat dipidana tanpa kesalahan, KUHP Nasional untuk pertama kalinya menempatkan asas geen straf zonder schuld sebagai norma tertulis yang mengikat. 

Kebaruan ini menegaskan bahwa pemidanaan bukan sekadar respons terhadap perbuatan terlarang, melainkan keputusan normatif yang harus berangkat dari penilaian atas kesalahan individual.
Pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam KUHP Nasional sering dipahami secara keliru sebagai pelemahan asas kesalahan. 

Namun, jika dibaca melalui Pasal 36, pemisahan tersebut justru berfungsi sebagai mekanisme etis yang memperjelas batas kekuasaan Negara. 

Pasal 36 ayat (1) mengharuskan hakim untuk tidak berhenti pada terbuktinya perbuatan pidana, tetapi melanjutkan analisis pada apakah pelaku patut dicela dan layak dipidana. 

Dengan demikian, Pasal 36 berperan menyambungkan kembali hubungan moral antara perbuatan dan pelaku yang secara sistematis dipisahkan dalam struktur KUHP baru.
Pasal 36 ayat (2), yang membatasi kesalahan hanya pada kesengajaan dan kealpaan, memperlihatkan bahwa kebaruan KUHP Nasional tidak bersifat ekspansif, melainkan restriktif terhadap kekuasaan menghukum. 

Pembatasan ini penting untuk mencegah berkembangnya pemidanaan berbasis asumsi, akibat semata, atau kepentingan ketertiban umum yang abstrak. 

Dalam perspektif demokrasi, ketentuan ini menegaskan bahwa negara tidak berwenang menghukum tanpa membuktikan bentuk kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan secara normatif, sehingga warga negara terlindungi dari kriminalisasi yang berlebihan.
Secara konstitusional, Pasal 36 harus dibaca sebagai perwujudan prinsip negara hukum yang menempatkan hukum pidana sebagai alat pembatas, bukan perluasan kekuasaan negara. 

Dengan menjadikan kesalahan sebagai prasyarat pemidanaan, KUHP Nasional mengafirmasi prinsip kepastian hukum yang adil dan due process of law. 

Dalam negara demokratis, pemidanaan yang mengabaikan kesalahan bukan hanya tidak sah secara hukum pidana, tetapi juga problematik secara konstitusional karena menggerus perlindungan hak asasi manusia.

Meskipun Pasal 36 menawarkan fondasi normatif yang progresif, tantangan utama terletak pada implementasinya. 

Dalam praktik penegakan hukum yang masih cenderung formalis dan berorientasi pada pembuktian unsur delik, terdapat risiko bahwa kesalahan hanya akan disebut secara deklaratif dalam putusan pengadilan. 

Oleh karena itu, keberlakuan KUHP Nasional menuntut perubahan cara berpikir aparat penegak hukum: dari sekadar membuktikan perbuatan, menuju menilai secara kritis legitimasi moral dan konstitusional pemidanaan.

Dalam kerangka ini, hakim memegang peran strategis sebagai penjaga makna Pasal 36. 

Hakim tidak hanya berfungsi sebagai penerap undang-undang, tetapi sebagai penafsir yang menentukan apakah pemidanaan benar-benar memenuhi syarat kesalahan. 

Putusan pengadilan yang secara argumentatif menguraikan kesengajaan atau kealpaan akan menjadi indikator keberhasilan sosialisasi dan internalisasi paradigma baru KUHP Nasional. 

Sebaliknya, putusan yang mengabaikan analisis kesalahan akan berpotensi mengosongkan kebaruan Pasal 36 dari makna substantifnya.
Sosialisasi keberlakuan KUHP Nasional tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada Negara. 

Akademisi dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab demokratis untuk memastikan bahwa UU No 1 tahun 2023 sebagai KUHP Baru dipahami sebagai instrumen perlindungan warga negara, bukan sekadar pasal teknis. 

Melalui kajian kritis, pendidikan publik, dan advokasi kebijakan, masyarakat sipil dapat berperan sebagai pengawas sosial agar kebaruan paradigma KUHP Nasional benar-benar beroperasi dalam praktik penegakan hukum.

Pada akhirnya, keberhasilan KUHP Nasional tidak diukur dari banyaknya pasal baru, tetapi dari sejauh mana norma yang ada dipahami serta hidup dalam praktik hukum pidana sehari-hari. 

Apabila dolus dan culpa serta kemampuan mempertanggung jawabkan perbuatan benar-benar menjadi dasar pemidanaan, maka KUHP Nasional dapat dikatakan telah bergerak ke arah hukum pidana yang demokratis dan humanistik. 

Sebaliknya, apabila norma yang ada diabaikan atau direduksi, maka reformasi hukum pidana berisiko menjadi perubahan simbolik tanpa makna substantif. (*)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • KUHP Baru dan Batas Demokratis Kewenangan Negara Menghukum
« Prev Next »

Jangan lupa ikuti kami di

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Trending Now

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Iklan

.entry-content { line-height: 1.4em; }