Iklan

Zona Merah KPK dan Krisis Integritas Daerah, Saat Siri’ na Pacce Ditinggalkan

tim redaksi timurkotacom
Sabtu, Oktober 18, 2025 | 6:58 AM WIB Last Updated 2025-10-17T23:58:35Z

Oleh: Herman, S.Sos., M.Si
Akademisi dan Mahasiswa Doktoral Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar



Penetapan sejumlah daerah di Sulawesi Selatan dalam zona merah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi peringatan serius bagi tata kelola pemerintahan daerah. 

Predikat ini merupakan gambaran nyata tentang lemahnya sistem integritas, disiplin moral, dan komitmen etis dalam birokrasi lokal.

Dalam evaluasi KPK, zona merah mencakup delapan area yang dianggap krusial, diantaranya perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, perizinan, pengelolaan aset, keuangan daerah, manajemen ASN, optimalisasi pendapatan daerah, dan tata kelola pemerintahan desa. 

Rendahnya skor Monitoring Center for Prevention (MCP), menandakan kesenjangan tajam antara kebijakan di atas kertas dan praktik di lapangan.

Dari perspektif administrasi publik, zona merah merupakan indikator kegagalan fungsi pengawasan internal dan lemahnya kontrol sosial di dalam birokrasi. 

Banyak perangkat daerah terjebak dalam rutinitas administratif tanpa menegakkan nilai-nilai integritas dan tanggung jawab moral pejabat publik. 

Evaluasi sering dilakukan untuk memenuhi kewajiban formal, namun tidak menitikberatkan pada perbaikan 
kualitas layanan dan kesejahteraan masyarakat.

Akademisi administrasi publik, Herman, S.Sos., M.Si, menilai bahwa persoalan zona merah bersifat sistemik dan berakar pada budaya birokrasi yang belum sepenuhnya terbangun di atas nilai integritas.

“Zona merah muncul ketika prinsip transparansi tidak dijalankan secara konsisten. Sistem birokrasi yang lemah menciptakan ruang bagi penyimpangan di setiap tahapan kebijakan,” ujarnya kepada timurKota.com.

Ia menegaskan bahwa reformasi birokrasi harus dimulai dari penguatan sistem pengendalian internal dan moralitas aparatur. 

Banyak kebijakan gagal memberi dampak nyata karena pengawasan dilakukan tanpa evaluasi substantif.

“Pengawasan tidak cukup berhenti pada laporan formal. Pemerintah daerah harus memastikan setiap kegiatan memiliki dampak yang terukur bagi publik,” tegas Herman.

Jika ditinjau dari kaca mata budaya Sulawesi Selatan, masalah tata kelola juga perlu dibaca dari dimensi nilai lokal yang selama ini menjadi fondasi etika sosial masyarakat Bugis-Makassar. 

Nilai siri’ na pacce, misalnya, mengajarkan rasa malu dan empati sosial sebagai pengendali moral dalam bertindak. 

Seorang pejabat yang memiliki siri’ akan menjaga kehormatan jabatannya dengan menjauhi perilaku koruptif, karena korupsi dipandang sebagai pelanggaran hukum, serta penghinaan terhadap diri, keluarga, dan masyarakatnya.

Begitu pula nilai pacce, yang menekankan rasa empati terhadap penderitaan rakyat. 

Aparatur yang memiliki pacce tidak akan tega menyalahgunakan wewenang ketika mengetahui rakyat masih kesulitan memperoleh pelayanan dasar. 

Jika pola pikir itu dikembangkan maka korupsi dipandang sebagai 
pengkhianatan terhadap rasa kemanusiaan kolektif.

Selain siri’ na pacce, nilai reso (kerja keras) dan getteng (keteguhan) juga menjadi bagian dari etika pemerintahan yang seharusnya hidup dalam birokrasi lokal. 

Nilai reso menuntun pejabat publik untuk bekerja dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. 

Sementara getteng mengajarkan konsistensi dalam menegakkan aturan dan menolak kompromi terhadap praktik-praktik penyimpangan.

Dalam kerangka sistem pemerintahan modern, nilai-nilai ini sejalan dengan tiga pilar utama good governance (transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas). 

Ketika nilai-nilai budaya lokal diinternalisasi dalam sistem birokrasi, maka reformasi tidak lagi bergantung pada tekanan eksternal dari lembaga seperti KPK.

Namun harus ditumbuhkan dari kesadaran internal aparatur sebagai pelayan masyarakat.

Predikat zona merah juga menunjukkan lemahnya koordinasi antar instansi. Ego sektoral kerap menghambat integrasi data dan memperlambat pengelolaan aset serta pendapatan daerah. 

Padahal dalam falsafah Bugis dikenal konsep pangadereng, yaitu sistem norma sosial yang mengatur keterpaduan antara hukum, adat, kebijaksanaan, dan moralitas.

Pangadereng dapat menjadi acuan etis bagi pemerintah daerah dalam membangun sinergi kelembagaan dan memastikan bahwa setiap kebijakan dijalankan dengan rasa keadilan serta keseimbangan sosial.

Herman menilai, kepemimpinan daerah memegang peran sentral dalam mendorong perubahan budaya birokrasi.

“Pemimpin daerah harus menunjukkan keteladanan integritas. Setiap kebijakan harus mencerminkan komitmen untuk melayani rakyat dengan jujur dan terbuka,” ujarnya.

Menurutnya, keteladanan adalah bentuk aktualisasi nilai ade’, salah satu unsur pangadereng, yang mengajarkan pentingnya moralitas pemimpin sebagai panutan bagi masyarakat. 

Pemimpin yang jujur dan terbuka akan menularkan budaya integritas ke seluruh level organisasi pemerintahan.

Lebih lanjut, Herman menekankan pentingnya keterbukaan informasi publik sebagai sarana memperkuat kepercayaan masyarakat.

“Pemerintah perlu membuka ruang partisipasi publik dalam pengawasan anggaran. Masyarakat yang aktif memantau kebijakan daerah akan memperkuat akuntabilitas pemerintah,” ungkapnya.

Partisipasi publik ini sejatinya merefleksikan nilai sipakatau, sipakalebbi, sipakainge (saling memanusiakan, menghargai, dan mengingatkan) yang menjadi ciri khas interaksi sosial masyarakat Bugis-Makassar. 

Melalui nilai ini, kontrol sosial masyarakat bersifat konstruktif untuk membangun pemerintahan yang berimbang dan beradab.

Pemerintah daerah di Sulawesi Selatan memiliki potensi besar untuk memperbaiki diri melalui digitalisasi pelayanan publik, peningkatan kapasitas moral aparatur, dan penguatan kolaborasi antar instansi. 

Reformasi birokrasi yang berbasis nilai budaya lokal akan menciptakan sistem yang  efisien, dan tentunya berakar pada kearifan etika masyarakatnya.

“Pemerintahan yang berintegritas tumbuh dari budaya kerja yang jujur dan bertanggung jawab. Reformasi birokrasi harus lahir dari kesadaran moral, bukan dari rasa takut terhadap pengawasan eksternal. Selama budaya siri’ na pacce hidup di dalam diri aparatur, pemerintahan daerah akan tetap berada di jalur kehormatan dan kepercayaan rakyat,” pungkasnya.

Fenomena zona merah tidak dapat dipahami semata-mata sebagai kelemahan administratif atau ketidakefisienan sistem birokrasi. 

Di balik angka-angka indeks MCP yang rendah, terdapat krisis nilai dan kepemimpinan moral yang semakin memudar di tingkat lokal. 

Di sinilah peran budaya menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai sumber etika dan pedoman perilaku yang seharusnya menjiwai tata kelola pemerintahan.

Dalam tradisi pemerintahan Bugis-Makassar, konsep kepemimpinan selalu dilekatkan dengan dimensi moral. Seorang pemimpin disebut pabbicara, karena ia mampu menjadi suara hati nurani rakyatnya. Pemimpin yang baik tidak berjarak dengan rakyat.

Nilai getteng (keteguhan dalam prinsip) menuntut agar setiap pemimpin berdiri kokoh di atas kebenaran, sekalipun tekanan politik datang dari berbagai arah.

Kepemimpinan daerah di Sulawesi Selatan saat ini menghadapi tantangan dari tekanan birokrasi yang hirarkis, kepentingan politik jangka pendek, serta ekspektasi publik yang semakin tinggi terhadap transparansi. 

Dalam situasi ini, kekuatan budaya seharusnya menjadi landasan moral untuk menahan godaan penyimpangan kekuasaan. 

Seorang pejabat yang menghayati siri’ na pacce akan menganggap jabatan sebagai amanah yang harus dijaga dengan harga diri dan tanggung jawab sosial.

Krisis integritas di birokrasi sebenarnya juga berakar pada melemahnya mekanisme sosial dalam menegakkan nilai budaya. 

Di masa lalu, masyarakat Bugis memiliki sistem pengendalian sosial yang kuat melalui pangadereng norma yang mengatur hubungan manusia dengan sesama, dengan pemimpin, dan dengan Tuhan. 

Kini, sistem itu mulai terpinggirkan oleh mekanisme administratif yang kering dari makna moral. Hukum formal berjalan tanpa kehangatan etika, dan sanksi sosial tidak lagi cukup kuat untuk membentuk perilaku aparatur.

Untuk memperbaiki situasi ini, pemerintah daerah perlu menanamkan kembali nilai-nilai budaya ke dalam sistem manajemen aparatur. 

Pelatihan integritas tidak cukup berbasis regulasi, tetapi juga harus berbasis cultural awareness. 

Misalnya, ketika seorang ASN menerima pelatihan antikorupsi, narasi yang disampaikan selain tentang sanksi hukum, penting menanamkan nilai siri (rasa malu) yang muncul ketika kepercayaan publik dirusak. Dengan cara ini, moralitas menjadi bagian dari identitas profesi.

Selain itu, upaya reformasi juga memerlukan perubahan pola kepemimpinan. 

Pemimpin daerah perlu tampil sebagai pangngadereng modern sosok yang mampu menjaga keseimbangan antara hukum formal, nilai adat, dan rasa kemanusiaan. 

Keteladanan menjadi instrumen yang lebih kuat daripada instruksi. Ketika pemimpin menunjukkan gaya hidup sederhana, bersikap terbuka terhadap kritik, dan menolak gratifikasi dalam bentuk apa pun, maka aparatur di bawahnya akan meniru pola tersebut. Integritas bersifat menular, begitu pula korupsi.

Dalam penelitian administrasi publik kontemporer, muncul konsep ethical leadership, yaitu kepemimpinan yang menempatkan moralitas sebagai inti kebijakan publik. 

Nilai-nilai budaya Bugis-Makassar sejalan dengan konsep ini. Sipakatau, sipakalebbi, sipakainge membentuk dasar komunikasi sosial yang menghormati martabat manusia, mendorong penghargaan terhadap sesama, dan menciptakan sistem saling mengingatkan dalam kebaikan. Nilai-nilai ini jika di institusionalisasi dalam pemerintahan akan membentuk budaya kerja yang kolaboratif dan etis.

Misalnya, dalam pengelolaan keuangan daerah, prinsip sipakainge dapat diterjemahkan dalam sistem pengawasan yang saling mengingatkan antar pegawai, bukan saling menutup-nutupi. 

Dalam pengadaan barang dan jasa, semangat sipakalebbi mendorong penghargaan terhadap profesionalisme dan transparansi. 

Sementara sipakatau memastikan bahwa setiap kebijakan memprioritaskan kepentingan rakyat, bukan kelompok tertentu. 

Selain itu, transparansi publik perlu dipahami sebagai wujud dari paccing kebersihan hati dan kejujuran dalam niat. 

Pemerintah daerah dapat memperkuat mekanisme keterbukaan informasi melalui digitalisasi layanan publik, portal data anggaran, dan forum konsultasi masyarakat. Hal ini akan membangun budaya baru di mana kejujuran dianggap sebagai kebanggaan, tidak lagi sebagai ancaman.

Di masyarakat Bugis-Makassar, paccing dan siri’ sering dipasangkan sebagai nilai yang saling melengkapi. Siri’ menjaga kehormatan di mata publik, sementara paccing menjaga kesucian niat di dalam diri. 

Pejabat yang memiliki keduanya akan menjalankan tugas dengan rasa tanggung jawab ganda, kepada rakyat dan kepada nuraninya sendiri. 

Pemerintahan seperti inilah yang akan membawa daerah keluar dari bayang-bayang zona merah menuju zona integritas.

Penting pula diingat bahwa reformasi tata kelola tidak akan berhasil tanpa keterlibatan masyarakat. 

Dalam pandangan Herman, masyarakat harus menjadi bagian aktif dalam mengawasi, menilai, dan memberikan umpan balik terhadap kebijakan publik. 

“Ketika rakyat ikut mengawal anggaran, mengawasi proyek, dan menilai kinerja aparatur, maka sistem pengawasan menjadi lebih hidup dan bermakna,” ujarnya.

Partisipasi publik ini merupakan bentuk konkret dari gotong royong modern, menitikberatkan pada kolaborasi moral untuk memastikan pemerintahan berjalan bersih. 

Budaya Bugis-Makassar yang menekankan solidaritas sosial dapat menjadi modal penting dalam membangun sistem partisipatif semacam ini.

Zona merah KPK memang memberikan kesan negatif, namun harus dijadikan sebagai momentum introspeksi kolektif. 

Ia menyingkap wajah buram birokrasi sekaligus membuka peluang untuk membangun kembali tata kelola berbasis nilai. 

Pemerintah daerah dapat memulai dari hal sederhana, menegakkan disiplin keuangan, memperkuat audit internal, menindak tegas pelanggaran etik, dan memberikan penghargaan bagi aparatur yang berintegritas. 

Reformasi sejati dimulai dari keteladanan kecil yang dilakukan secara konsisten.

Di masa depan, keberhasilan pemerintahan daerah tidak lagi cukup diukur dari pertumbuhan ekonomi atau angka serapan anggaran. 

Ukuran sejati keberhasilan adalah sejauh mana nilai integritas hidup di dalam sistem, sejauh mana rakyat merasa dihormati dan dilayani. 

Menutup pandangannya, Herman menegaskan bahwa Sulawesi Selatan memiliki warisan nilai yang sangat kaya untuk membangun pemerintahan berintegritas. 

“Kita memiliki siri’ na pacce, getteng, reso, ade’ tongeng, sipakatau. Semua nilai itu adalah fondasi antikorupsi yang lahir jauh sebelum istilah good governance dikenal dunia,” ujarnya.

Jika nilai-nilai itu dihidupkan kembali, maka reformasi birokrasi menjadi gerakan gerakan budaya untuk mengembalikan kehormatan pemerintahan daerah. Hasilnya adalah, keluar dari zona merah dan dapat  mengembalikan marwah dan harga diri bangsa. (*)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Zona Merah KPK dan Krisis Integritas Daerah, Saat Siri’ na Pacce Ditinggalkan
« Prev Next »

Jangan lupa ikuti kami di

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Trending Now

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Iklan

.entry-content { line-height: 1.4em; }