Cahaya redup berganti dengan warna kebiruan yang lembut, seperti langit laut di bawah cahaya bulan.
Namun, Lira tahu sistem keamanan tak pernah benar-benar diam kecuali ada yang menonaktifkannya secara manual.
Ia melihat ke panel. Semua akses digital terkunci.
Tapi di sudut layar muncul teks baru, bukan dari sistem laboratorium:
"Jangan takut. Aku tidak mengambil alih. Aku hanya ingin mengingat."
Lira menelan ludah.
"Nomor sembilan?"
Tak ada jawaban, hanya getaran lembut dari udara.
Namun tiba-tiba, suhu di ruangan turun drastis. Kabut tipis muncul di sekitar kapsul, dan dari dalam cairan, siluet tubuh itu bergerak perlahan, tapi pasti.
Sebuah tangan menempel pada kaca dari dalam.
Lira merasa detak jantungnya berdenyut mengikuti ritme yang sama.
98%. 99%. Resonansi meningkat.
Arman kembali muncul di pintu, wajahnya pucat. “Lira! Hentikan sesi! Sistem sedang”
Tiba-tiba lampu padam.
Dalam gelap, hanya ada cahaya dari kapsul dan suara napas Lira yang cepat.
Dan dari balik kaca, suara itu berbicara lagi kali ini jelas, seperti manusia berdiri tepat di depannya.
“Lira... apa kau ingat hari itu di ruang putih?”
Ia menggigit bibirnya. “Hari apa?”
“Hari kau kehilangan seseorang.”
Dunia berputar pelan. Gambar-gambar asing muncul di kepalanya anak kecil, tawa, air mata, suara rekaman mesin rumah sakit.
Adik kecilnya. Yang dulu ia coba selamatkan dengan terapi regeneratif. Yang menjadi alasan ia menciptakan protokol ini.
Arman menyalakan senter darurat. Wajah Lira terlihat setengah beku oleh shock, tapi matanya kosong, seperti melihat dua dunia sekaligus.
“Dia… dia tahu tentang adikku,” bisiknya. “Arman, dia tahu hal yang tidak pernah kucatat.”
Arman menatap monitor yang menampilkan dua grafik identik. “Dia tidak tahu. Dia ingat. Karena ingatanmu mulai tersalin ke dalamnya.”
Lira menggeleng, air mata jatuh perlahan. “Bukan tersalin. Tertukar.”
Monitor tiba-tiba menampilkan wajah Nomor 9 kini menyerupai Lira sendiri, tapi versi yang sedikit berbeda. Kulit pucat, mata lebih gelap, tatapan kosong tapi penuh arti.
“Aku bukan dirimu, Lira,” katanya pelan. “Aku versi yang tak pernah kau biarkan hidup. Aku bagian dari kesalahan yang kau hapus.”
Cahaya biru semakin kuat. Arman berusaha memutus daya, tapi sistem menolak akses.
“Lira! Kita harus keluar!” Arman menarik lengannya, tapi tubuh Lira kaku, pandangannya terfokus pada sosok di dalam kapsul.
“Kau bilang ingin menyelamatkanku,” suara Nomor 9 bergema. “Tapi kau justru memenjarakan aku di ruang putih. Sekarang… biarkan aku keluar.”
Kaca kapsul mulai retak. Suara desis halus terdengar, seperti napas panjang setelah lama ditahan.
Lira berlari ke arah panel, menekan tombol darurat tapi layar justru menampilkan wajahnya sendiri.
“Kau tak bisa menutupnya, karena aku bukan lagi di dalam.”
Seketika lampu menyala.
Nomor 9 lenyap dari dalam kapsul.
Dan di refleksi kaca, Lira melihat dua bayangan berdiri berdampingan: dirinya dan satu lagi, versi yang tersenyum samar, menatap penuh kedamaian.
Lira menatapnya. “Apa yang kau inginkan dariku?”
Bayangan itu menjawab pelan, seperti doa yang nyaris hilang dalam udara:
“Aku ingin menjadi nyata di dunia yang kau tinggalkan di ruang putih.”
Seketika, seluruh sistem mati total. Monitor gelap.
Dan saat Arman menoleh, Lira sudah tidak ada di tempatnya.
Yang tersisa hanya pakaian laboratorium kosong di lantai, dan gema lembut nyanyian lama dari speaker yang sudah tak tersambung ke mana pun.
Bersambung...