![]() |
Ishak, S.H |
TIMURKOTA.COM, JAKARTA – Tayangan provokatif di salah satu program Trans7 yang dinilai menyinggung kehormatan pesantren dan kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) menuai reaksi keras dari berbagai kalangan.
Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) menilai peristiwa tersebut bukan sekadar pelanggaran moral, tetapi juga mengandung unsur pelanggaran terhadap asas hukum dan etika publik.
Menurut Ishak, S.H, Pengurus Besar PMII Bidang OKP, LSM, dan Ormas, media seharusnya memahami bahwa setiap kebebasan berekspresi selalu dibatasi oleh tanggung jawab hukum dan moral.
“Dalam hukum, setiap hak dibatasi oleh kewajiban, dan setiap kebebasan dibingkai oleh tanggung jawab. Ketika tanggung jawab dikorbankan atas nama kebebasan, hukum kehilangan maknanya,” ujarnya, Kamis (16/10/2025).
Ia menegaskan, kebebasan pers memang merupakan pilar demokrasi, namun bukan hak absolut. Prinsip dasar yang harus dijunjung ialah salus populi suprema lex esto keselamatan dan martabat masyarakat sebagai hukum tertinggi.
“Ketika lembaga penyiaran menyebarkan narasi menyesatkan dan merendahkan marwah pesantren, maka ia telah melampaui batas kebebasannya dan menodai tanggung jawab sosial pers sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” tegasnya.
Ishak menjelaskan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan, institusi sosial dan kultural yang dilindungi konstitusi.
Karena itu, pelecehan terhadap pesantren dan kiai dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik lembaga keagamaan, yang melanggar asas keadilan dan kepastian hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
“Setiap orang wajib tunduk pada pembatasan hukum untuk menjamin penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Tindakan Trans7 ini bukan hanya kesalahan redaksional, tetapi kelalaian yang mengandung akibat hukum (culpa lata),” tambahnya.
Dalam pandangan hukum, kata Ishak, permintaan maaf semata tidak cukup. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers harus menjatuhkan sanksi proporsional demi menjaga keadilan dan integritas lembaga penyiaran.
“Sanksi etik, pembekuan program, hingga evaluasi redaksi perlu dijatuhkan sebagai preseden agar tidak terulang di masa depan,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya restorasi moral dan kultural. Trans7 diminta melakukan rehabilitasi nama baik pesantren dan kiai sepuh NU secara terbuka di ruang media yang sama, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum.
“Dalam asas hukum, tidak ada pemulihan tanpa pengakuan kesalahan (no reparation without confession),” tandasnya.
Ishak menilai momentum Hari Santri (22 Oktober) dan Sumpah Pemuda (28 Oktober) mendatang harus dijadikan refleksi nasional.
"Kedaulatan bangsa tidak hanya dijaga dengan senjata, tapi juga dengan integritas moral dan ketaatan hukum. Santri menjaga nilai, pemuda menegakkan keadilan. Ketika keduanya beriringan, hukum menemukan jiwanya,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan pesan keras bagi dunia media: kebebasan pers bukan tiket untuk menistakan nilai.
“Negara hukum hanya bisa berdiri jika semua elemen, termasuk media, tunduk pada prinsip good faith. Hukum tanpa moral hanya menghasilkan ketertiban yang kering, moral tanpa hukum melahirkan anarki nilai. Ketika media kehilangan adab, hukum harus berbicara tegas, adil, dan beradab,” pungkasnya. (*)