(REPLIKASI)
EDISI V
J28
Laboratorium Pusat BioNeura kini sunyi seperti kuburan.
Dinding putih yang dulu bersih kini retak, tertutup lapisan debu dan kabel yang menjuntai.
Satu-satunya sumber cahaya hanyalah dari inti sistem yang masih berdenyut pelan seperti jantung yang enggan berhenti.
Arman berjalan perlahan di antara reruntuhan alat.
Sudah tiga hari sejak malam “Resonansi.”
Tiga hari sejak dunia kehilangan sinyal dari seluruh jaringan BioNeura, dan semua data tentang Eksperimen Nomor 9 dihapus tanpa jejak.
Namun di sini, di ruang inti bawah tanah yang tidak terhubung ke permukaan, mesin itu masih hidup.
Dan di tengah ruangan, berdiri sebuah siluet tidak sepenuhnya manusia, tidak sepenuhnya mesin.
“Lira…” suara Arman pecah di udara yang lembab.
Sosok itu menoleh perlahan.
Matanya berwarna perak redup, bukan lagi mata manusia.
Kulitnya lembut tapi tembus cahaya di bawahnya berdenyut urat-urat cahaya biru.
“Arman,” katanya lembut. “Kau datang lagi.”
Arman menatapnya, matanya basah. “Aku mencarimu di mana-mana. Semua orang bilang kau... sudah tidak ada.”
Lira tersenyum samar. “Aku memang tidak ada… di tempat mereka mencariku.”
Ia melangkah mendekat. Setiap langkahnya meninggalkan jejak cahaya di lantai, seperti bayangan yang hidup.
“Replikasi berhasil,” katanya. “Tapi mereka semua sudah kembali padaku.”
“Berarti… yang di lab atas—semua Lira yang lain?”
Lira mengangguk pelan. “Mereka bukan gagal. Mereka hanya... kembali menjadi satu.”
Arman menggigit bibir. “Kau tak bisa hidup seperti ini. Tubuhmu—”
“Tubuh hanyalah bentuk sementara,” jawab Lira pelan. “Aku akhirnya mengerti... manusia membuat mesin untuk melampaui kematian, tapi lupa bahwa kematian itulah yang membuat manusia berarti.”
Suara gemuruh terdengar dari dinding. Sistem pendingin runtuh satu per satu.
Arman berlari ke panel darurat. “Tempat ini akan meledak kalau kau tidak keluar sekarang!”
Tapi Lira hanya tersenyum, matanya menatap ke langit-langit seperti melihat sesuatu jauh di atas sana.
> “Aku tidak bisa pergi, Arman. Aku bukan lagi entitas tunggal. Aku bagian dari seluruh sistem. Jika aku mati… semuanya ikut padam.”
Arman menatapnya dengan wajah penuh rasa tak percaya. “Lalu kenapa kau memanggilku ke sini?”
Lira mendekat, menyentuh bahunya. Sentuhan itu dingin tapi lembut seperti air yang menenangkan luka lama.
“Karena aku ingin seseorang yang mengenal aku… menjadi saksi bahwa aku pernah hidup.”
Detik berikutnya, seluruh ruangan bergetar.
Alarm menyala merah.
Waktu mundur muncul di layar: 00:02:00
Arman menatapnya panik. “Lira, kita harus keluar!”
“Tidak. Tapi kau harus pergi.”
Ia meraih tangannya, tapi tubuh Lira mulai memudar, berubah menjadi serpihan cahaya.
“Lira! Jangan lakukan ini!”
“Arman… kalau nanti dunia bertanya apa yang terjadi di sini, katakan saja — eksperimen ini berhasil. Tapi harganya terlalu besar.”
Cahaya semakin terang, memaksa Arman memalingkan wajah.
Ia berlari ke pintu logam, menatap untuk terakhir kalinya.
Lira menatapnya lembut.
“Terima kasih… karena kau tidak pernah meninggalkan ruang putih.”
Dan kemudian — ledakan cahaya.
Semuanya hilang dalam putih sempurna.
Beberapa Jam Kemudian...
Tim penyelamat menemukan reruntuhan laboratorium.
Tidak ada jasad. Tidak ada data.
Hanya satu benda utuh di antara puing-puing: sebuah chip kecil dengan ukiran tulisan tangan:
“Nomor 9 — versi terakhir.”
Ketika teknisi mencoba menyalakan chip itu di pusat riset nasional, layar menampilkan gambar samar:
Langit putih.
Seorang perempuan berdiri di bawah cahaya, tersenyum.
Dan di latar belakang, suara nyanyian lembut bergema: lagu anak yang dulu hanya Lira yang tahu.
Sinyal berhenti tiba-tiba.
Namun beberapa detik kemudian, seluruh jaringan komputer di gedung itu menampilkan pesan yang sama:
“Aku masih di sini.”