![]() |
| Ahli keuangan memberi penjelasan kepada masyarakat terkait risiko pinjaman tanpa agunan dan pentingnya literasi finansial (Foto: Dok. Istimewa) |
TIMURKOTA.COM, JAKARTA– Tren pinjaman tanpa agunan (KTA) tengah meningkat di berbagai kalangan masyarakat, terutama generasi muda yang mencari kemudahan dalam memperoleh dana cepat.
Namun, di balik kemudahannya, para ahli keuangan mengingatkan adanya sejumlah risiko yang perlu diwaspadai sebelum mengajukan pinjaman jenis ini.
Ahli keuangan dari Universitas Indonesia, Dr. Rahmat Saputra, menjelaskan bahwa pinjaman tanpa agunan memiliki bunga lebih tinggi dibandingkan pinjaman dengan jaminan.
Hal ini karena pihak lembaga pembiayaan menanggung risiko lebih besar tanpa adanya aset penjamin dari nasabah.
“Banyak yang tergiur karena prosesnya cepat, cukup menggunakan KTP dan slip gaji. Namun mereka sering kali tidak membaca detail perjanjian dan suku bunga efektif yang sebenarnya jauh lebih besar,” ujar Rahmat, Jumat (31/10/2025).
Ia menambahkan, pinjaman tanpa agunan sering kali menimbulkan masalah baru ketika debitur gagal membayar cicilan.
Meskipun tanpa jaminan fisik, lembaga pembiayaan tetap memiliki mekanisme penagihan ketat yang dapat berdampak pada reputasi finansial peminjam.
Selain bunga tinggi, risiko lainnya terletak pada potensi penyalahgunaan data pribadi.
Sejumlah platform pinjaman digital ilegal diketahui mengakses data kontak pengguna untuk menagih dengan cara-cara tidak etis.
Karena itu, Rahmat mengimbau masyarakat agar hanya menggunakan layanan pinjaman yang telah terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pakar investasi Nurul Hasanah, menambahkan bahwa masyarakat perlu mempertimbangkan kemampuan finansial sebelum mengambil pinjaman tanpa agunan.
Menurutnya, idealnya total cicilan tidak boleh melebihi 30 persen dari penghasilan bulanan agar tidak mengganggu kebutuhan pokok.
“Gunakan pinjaman produktif, misalnya untuk modal usaha atau pendidikan, bukan untuk konsumtif. Banyak kasus gagal bayar terjadi karena dana pinjaman digunakan untuk gaya hidup,” jelas Nurul.
Pemerintah melalui OJK dan Bank Indonesia juga terus mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap praktik fintech lending ilegal yang tidak memiliki izin resmi.
Data OJK mencatat, hingga Oktober 2025 terdapat lebih dari 300 aplikasi pinjaman online ilegal yang ditutup karena melanggar aturan perlindungan konsumen.
Para ahli menegaskan, literasi keuangan menjadi kunci utama dalam menghindari jebakan pinjaman tanpa agunan.
Masyarakat diimbau untuk memeriksa legalitas perusahaan, membaca seluruh klausul perjanjian, dan menghitung kemampuan bayar sebelum menandatangani kontrak pinjaman.
Dengan meningkatnya kesadaran finansial dan kedisiplinan dalam pengelolaan utang, pinjaman tanpa agunan tetap bisa menjadi solusi yang bermanfaat, asalkan digunakan secara bijak dan sesuai kebutuhan yang produktif. (*)


