![]() |
Ilustrasi beras Bulog (Foto: Dok. Istimewa) |
Penulis: Syamsul Bahri Arafah
Editor: timurkota.com
TIMURKOTA.COM, BONE – Sejumlah petani di Kabupaten Bone mengeluhkan pelayanan Perum Bulog yang dinilai belum optimal. Keluhan tersebut muncul lantaran gudang Bulog disebut dalam kondisi penuh sehingga tidak lagi menyerap gabah dari petani.
Dampaknya, harga gabah di tingkat petani mengalami penurunan signifikan.
Para pedagang yang selama ini menjadi mitra petani enggan membeli dengan harga normal dan memilih menurunkan harga karena tidak adanya jaminan serapan Bulog.
NS (56), salah seorang petani, mengaku harga gabah yang diterima hanya Rp6.100 per kilogram.
Padahal, jika Bulog membuka gudang dan menyerap hasil panen, harga bisa mencapai Rp6.700 per kilogram.
"Kami rugi besar. Saat Bulog aktif harga lebih baik, sekarang jatuh hingga Rp600 per kilogram," ungkapnya.
Hal serupa disampaikan Anto, seorang pedagang. Ia menyebut, sejak Bulog tidak menerima gabah, pihaknya hanya berani membeli gabah di kisaran Rp6.000 hingga Rp6.100 per kilogram.
"Kalau Bulog buka, kami bisa mengikuti harga Rp6.700, tapi karena tutup, kami terpaksa menekan harga," jelasnya.
Kondisi ini membuat petani tertekan karena biaya produksi semakin tinggi sementara harga jual gabah terus merosot.
Mereka berharap ada langkah cepat dari pemerintah maupun Bulog agar gabah kembali terserap sesuai harga pembelian pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, Pemimpin Cabang Perum Bulog Kancab Bone, Maysius P, memastikan bahwa harga pembelian gabah oleh Bulog tetap mengacu pada ketetapan pemerintah, yakni Rp6.500 per kilogram.
"Kalau ada gabah yang dibeli di bawah harga tersebut, mohon diinfokan ke Bulog. Kami akan mendata petani dan menugaskan tim Unit Bisnis Industri Perum Bulog Kanwil Sulselbar untuk menjemput langsung," tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa Bulog berkomitmen menjaga stabilitas harga dan melindungi petani dari praktik permainan harga yang merugikan.
"Kami mengajak petani dan pedagang untuk aktif berkoordinasi agar persoalan harga ini bisa segera diatasi," pungkas Maysius. (*)