HERMAN, S.SOS., M.SI
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Administrasi Publik, Universitas Hasanuddin Makassar
Pembatalan pelantikan Hj. Faidah sebagai Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Kabupaten Bone menjadi peristiwa yang tidak hanya menarik secara administratif, sekaligus mencerminkan dinamika relasi antar lembaga dalam sistem pemerintahan daerah.
Penundaan tersebut memunculkan pertanyaan penting tentang etika kelembagaan, legitimasi administratif, dan peran Sekretaris DPRD dalam memperkuat fungsi representasi rakyat oleh lembaga legislatif.
Salah satu sorotan utama dalam kasus ini adalah absennya rekomendasi dari pimpinan DPRD, yang secara normatif merupakan bagian dari syarat administratif pelantikan Sekwan.
Dalam praktik pemerintahan daerah, pelantikan pejabat strategis seperti Sekwan tidak bisa dilepaskan dari persetujuan dan dukungan politik dari lembaga legislatif.
Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi dasar hukum utama dalam pengaturan kelembagaan DPRD.
Pasal 401 ayat (1) secara eksplisit menyebutkan bahwa Sekretaris DPRD dipilih dan diberhentikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, atas persetujuan pimpinan DPRD.
Ini menandakan bahwa rekomendasi dari Ketua DPRD tidak hanya sebagai formalitas, tetapi menjadi syarat substantif.
Artinya, Sekretariat DPRD bukan sekadar bagian administratif yang membantu jalannya rapat atau pengelolaan keuangan dewan, tetapi menjadi unsur strategis dalam menjamin efektivitas pelaksanaan fungsi-fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan.
Dalam konteks ini, Sekwan menjadi jembatan antara dunia politik dan birokrasi, serta antara aspirasi publik dan kebijakan pemerintah.
Menurut Herman, S.Sos., M.Si, mahasiswa doktoral Ilmu Administrasi Publik Universitas Hasanuddin menyebut bahwa Sekwan bukan hanya pelaksana teknis keprotokolan atau manajemen kesekretariatan.
"Ia adalah mediator antara proses pengambilan keputusan politik di DPRD dan sistem birokrasi eksekutif. Oleh karena itu, integritas, komunikasi, dan legitimasi sangat penting dimiliki oleh seorang Sekretaris DPRD." ungkapnya.
Dari sudut pandang etika pemerintahan, komunikasi antara calon Sekwan dengan pimpinan DPRD adalah wujud penghormatan terhadap marwah lembaga.
Ketika seorang calon Sekwan dianggap tidak berupaya membangun komunikasi langsung, maka hal ini dapat dimaknai sebagai kegagalan dalam memahami nilai-nilai dasar tata kelola kelembagaan yang baik.
Herman menambahkan bahwa pembatalan pelantikan ini justru menjadi bentuk kebijaksanaan yang patut diapresiasi.
"Langkah ini saya kira sebuah upaya untuk menjaga marwah lembaga, dan paling penting sebagai orang Bone sudah menunjukkan bahwa dalam menjalankan pemerintahan ada prinsip 'Sipakatau'.' Prinsip lokal ini mengedepankan penghormatan dan kesetaraan antar individu maupun institusi," jelasnya.
Lebih jauh, kasus ini membuka refleksi mendalam mengenai pentingnya keseimbangan antara eksekutif dan legislatif di daerah.
Jika pelantikan Sekwan hanya didasarkan pada keputusan kepala daerah tanpa melibatkan DPRD, maka akan terjadi ketimpangan struktural dan simbolis dalam sistem pemerintahan.
Hj. Faidah adalah seorang pejabat berpengalaman, pernah menjabat sebagai Camat dan dikenal memiliki kemampuan teknis yang mumpuni.
Namun dalam konteks jabatan strategis seperti Sekwan, kompetensi administratif perlu diiringi dengan keterampilan komunikasi politik yang baik.
Keberhasilan Sekwan tidak hanya diukur dari administrasi, ada hal lain yakni kemampuannya menjembatani visi eksekutif dan aspirasi legislatif.
Kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi seluruh kepala daerah, bahwa dalam birokrasi demokratis, tidak semua keputusan administratif dapat diambil secara top-down.
Ada proses-proses simbolik, komunikasi etik, dan keterlibatan politik yang harus dihormati demi terciptanya tata kelola yang partisipatif dan harmonis.
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mewajibkan seluruh penyelenggara pemerintahan untuk berpegang pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Ini meliputi asas keterbukaan, partisipatif, tidak menyalahgunakan wewenang, serta menjunjung tinggi nilai kepastian hukum.
Oleh karena itu, dalam proses pelantikan pejabat yang melekat pada lembaga lain, pendekatan komunikasi, partisipasi, dan kesepahaman menjadi sangat penting.
Dampak positif lain dari penundaan pelantikan Sekwan adalah memberi pesan tegas bahwa DPRD bukan lembaga pelengkap, melainkan mitra sejajar pemerintah daerah.
Mengabaikan DPRD dalam proses administrasi pelantikan Sekwan bukan hanya pelanggaran hukum administratif, tetapi juga bisa mencederai kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan yang inklusif.
Oleh karena itu, langkah Bupati Bone untuk menunda pelantikan dapat dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi lokal dan kelembagaan legislatif.
Tindakan tersebut tidak boleh dianggap sebagai bentuk kompromi politik, melainkan sebagai bentuk penguatan check and balance dalam sistem pemerintahan.
Ke depan, pemerintah daerah perlu menyusun pedoman teknis atau SOP pelantikan Sekwan yang lebih rinci, termasuk kewajiban komunikasi langsung antara calon Sekwan dan pimpinan DPRD.
Kelembagaan publik di era sekarang menuntut adanya kolaborasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam semua bentuk pengambilan keputusan.
Selain itu, DPRD juga harus proaktif dalam membentuk forum komunikasi dengan pemerintah daerah, agar segala proses rekrutmen pejabat yang berkaitan langsung dengan fungsi lembaga bisa dibahas secara terbuka dan sistematis.
Dengan demikian, tidak terjadi lagi miskomunikasi atau persepsi yang berbeda di kemudian hari.
Sebagai penutup, penundaan pelantikan Sekwan Kabupaten Bone harus dijadikan momentum untuk memperkuat integritas kelembagaan.
DPRD dan Pemerintah Daerah harus duduk bersama, menyusun protokol baru yang lebih terbuka dan beretika dalam pengangkatan jabatan strategis.
Tujuan akhirnya adalah menciptakan tata kelola daerah yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga bermartabat secara kelembagaan dan beretika secara sosial. (*)