Oleh: Abdi Khairil
TIMURKOTA.COM- Belakangan, masyarakat digegerkan oleh temuan peredaran uang palsu yang diduga digunakan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sulawesi Selatan.
Uang palsu yang disita dari sebuah perguruan tinggi ternama itu rencananya akan dipakai untuk mendukung calon tertentu dalam Pilkada.
Tak mengherankan, uang banyak memang menjadi salah satu kebutuhan utama bagi mereka yang ingin maju sebagai calon kepala daerah. Uang, dalam banyak kasus, bahkan lebih menentukan daripada ide dan visi misi.
Fenomena money politics atau politik uang, yang semakin marak menjelang hari pencoblosan, kian menegaskan bahwa politik di Indonesia semakin terjepit oleh pragmatisme uang.
Serangan fajar praktek membagi-bagikan uang menjelang hari pencoblosan menjadi salah satu alat efektif untuk meraih suara, bahkan jika kualitas calon pemimpin yang diajukan tidak memadai.
Melihat fenomena ini, banyak yang mulai mempertanyakan efektivitas sistem pemilihan langsung yang sudah berjalan selama dua dekade terakhir.
Tidak sedikit yang berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah sebaiknya dikembalikan seperti pada masa 1955, di mana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pilihan ini dianggap bisa mengurangi peluang terjadinya politik uang, sekaligus memberi ruang bagi proses yang lebih terstruktur dan berbasis gagasan.
Namun, sebelum berlanjut ke diskusi lebih jauh, mari kita lihat realitas yang ada di lapangan. Pemilihan langsung, yang semestinya mewujudkan kedaulatan rakyat, ternyata hanya menyisakan celah bagi politik uang yang merajalela.
Sebagaimana yang terjadi di banyak daerah, politik uang merambah ke level akar rumput, dari desa hingga kota besar. Uang amplop menjadi penentu siapa yang akan terpilih.
Di beberapa tempat, seperti yang saya alami langsung di daerah pengunungan Sulawesi, sejumlah pemilih bahkan dengan terang-terangan menyebutkan bahwa mereka memilih berdasarkan siapa yang mampu memberi uang lebih banyak.
Bahkan dalam beberapa kasus, keluarga yang memiliki lebih dari satu pemilih akan menerima amplop dalam jumlah lebih besar.
Bayangkan, jika dalam satu rumah terdapat lima pemilih, maka anggaran untuk membeli suara bisa mencapai jutaan rupiah. Semua ini tentu berpotensi merusak kredibilitas dan integritas proses demokrasi.
Karena itu, wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali mengemuka.
Beberapa kalangan mendukungnya dengan alasan sederhana: mengurangi biaya politik yang membengkak akibat kampanye, serta menghindari konflik dan kekerasan yang sering terjadi dalam pilkada langsung.
Proses pemilihan yang lebih efisien, yang tidak memerlukan waktu dan biaya besar, dinilai lebih cocok untuk mengurangi praktik-praktik tak etis tersebut.
Bahkan, dalam beberapa kasus, seperti Pilkada DKI Jakarta 1971 atau Jawa Timur 1985, pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD berlangsung relatif lebih tenang.
Namun, wacana ini tak lepas dari kontroversi. Sebagian pihak berpendapat bahwa pemilihan oleh DPRD akan mengurangi hak pilih rakyat, serta menambah potensi korupsi dan kolusi yang sudah menjadi masalah lama dalam politik Indonesia.
Tak hanya itu, langkah ini dianggap dapat memperburuk transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, karena kepala daerah yang terpilih lebih bertanggung jawab kepada anggota DPRD daripada rakyat yang memilihnya.
Sebagai contoh, Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Banten pada tahun 2006 menunjukkan betapa dinasti politik dapat mengendalikan pemilihan jika prosesnya tidak transparan.
Keluarga H. Chasan Shohib berhasil menguasai politik Banten selama tiga periode berturut-turut, meskipun diwarnai dengan konflik dan kekerasan antarpendukung calon.
Keberlanjutan dominasi politik seperti ini bisa jadi berisiko bagi perkembangan daerah jika pemilihan tidak berbasis pada kebutuhan rakyat.
Selain itu, dampak dari politik uang yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah, apalagi jika melibatkan uang palsu, bisa berpotensi merusak stabilitas ekonomi.
Baru-baru ini, Sulawesi Selatan kembali diguncang oleh penemuan pabrik uang palsu yang akan digunakan untuk mendukung calon dalam Pilkada.
Sejumlah uang palsu dengan nilai fantastis hingga tujuh triliun rupiah telah ditemukan, menunjukkan betapa besar risiko ekonomi yang dapat ditimbulkan oleh praktik seperti ini.
Uang palsu bukan hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan negara, tetapi juga dapat memicu inflasi dan merusak stabilitas ekonomi.
Keprihatinan ini semakin besar ketika video-video yang membahas ciri-ciri uang palsu beredar luas di media sosial, menyebabkan kebingungan dan ketakutan di kalangan masyarakat.
Sayangnya, pihak yang seharusnya memberikan edukasi seperti bank atau lembaga terkait belum melakukan upaya klarifikasi yang cukup untuk menenangkan kegelisahan masyarakat.
Menimbang semua hal ini, saya pribadi lebih setuju jika pemilihan kepala daerah dilaksanakan melalui DPRD.
Selain dapat mengurangi biaya politik, proses pemilihan yang lebih efisien dan minim konflik dapat memperkecil potensi manipulasi dengan uang palsu.
Namun, tentu saja, proses ini harus disertai dengan pengawasan ketat agar tetap mengedepankan akuntabilitas dan transparansi.
Lalu, bagaimana menurut Anda? Apakah kita harus kembali kepada sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD, atau tetap mempertahankan pilkada langsung meskipun dengan segala dampak negatifnya? Saatnya kita pikirkan matang-matang masa depan demokrasi Indonesia.