Oleh: Abdi Khairil M.Si. – Pendamping Sosial PKH
Keluhan warga tentang bantuan sosial selalu muncul setiap kali nama penerima diumumkan.
Ada yang protes karena merasa lebih miskin dibanding tetangganya. Ada pula yang mempertanyakan kenapa kerabat mereka “tidak kunjung dapat bantuan padahal jelas-jelas hidup susah”.
Bahkan ada asumsi bahwa nama penerima bansos langsung ditentukan pemerintah pusat seolah tinggal tekan tombol dan bantuan pun mengalir.
Padahal, jika kita mau melihat alurnya secara utuh, tuduhan itu tidak berdiri di atas fakta apa pun. Tidak ada satu pun nama penerima bansos yang bisa muncul tanpa data dari desa.
Data Bukan Muncul dari Langit Semua Dimulai dari Desa Saat ini pemerintah menugaskan enumerator di setiap desa/kelurahan untuk mendata warga yang layak diusulkan.
Artinya, pusat tidak tiba-tiba menunjuk seseorang sebagai penerima. Nama itu berasal dari desa, diverifikasi desa, lalu diusulkan oleh desa.
Jadi ketika ada warga mengeluh kerabatnya belum menerima bansos, ada dua kemungkinan besar:
1. Belum masuk data usulan, atau
2. Sudah masuk, tetapi belum lolos proses verifikasi dan klasifikasi desil.
Masalahnya, sebagian masyarakat menganggap proses ini hanya soal “masukkan nama langsung dapat bantuan”. Padahal, dalam kenyataannya, prosesnya jauh lebih ketat dan panjang.
Desil: Sistem yang Sering Disalahpahami Kita boleh jujur: istilah “desil” masih asing bagi sebagian besar masyarakat.
Padahal inilah jantung dari penentuan siapa yang berhak mendapat bantuan.
Desil adalah pengelompokan tingkat kesejahteraan masyarakat ke dalam 10 kelompok, dari yang paling miskin hingga paling sejahtera.
Desil 1–3 adalah yang paling membutuhkan. Desil 4–5 masih rentan. Desil 6–10 dianggap cukup mampu dan tidak masuk sasaran bansos.
Dengan kata lain, desil adalah pagar agar bantuan tidak jatuh ke tangan yang keliru. Tanpa sistem desil, bansos bisa berubah jadi ajang “siapa dekat dengan pihak tertentu”, dan inilah yang justru sering kita kritisi.
Penyaluran Bansos Itu Sistem, Bukan Selera
Kita perlu melongok sedikit bagaimana desil ini ditentukan. Data yang digunakan bukan hasil pendapat RT, tidak berdasarkan relasi sosial, bukan pula berdasarkan kedekatan politik.
Data berasal dari DTSEN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional), hasil kerja sama antara BPS, Kemensos, dan berbagai lembaga lain.
Setiap rumah tangga dianalisis berdasar kondisi rumah, aset, pengeluaran, jumlah tanggungan, pendidikan, pekerjaan, sampai kondisi kesehatan.
Hasilnya diproses menjadi desil, lalu dari situlah penerima bansos diprioritaskan.
Jika memang ada warga desa yang hidupnya sangat sulit tetapi belum menerima bantuan, justru desanya lah yang berperan besar untuk memasukkan data dan memperbaruinya.
Bukan pusat. Karena pusat hanya mengolah data yang dikirim. Tidak lebih. Tidak kurang. Bansos Tidak Instan, Karena Ketepatan Butuh Proses Kita sering meminta dua hal yang bertolak belakang: bansos harus cepat, tapi juga harus tepat sasaran. Keduanya tidak bisa dicapai kalau proses verifikasi dilewati begitu saja.
Proses ini memang memakan waktu memastikan NIK valid, memastikan kondisi ekonomi benar, memastikan warga tidak punya aset tersembunyi, memastikan tidak ada manipulasi data.
Tanpa proses ini, salah sasaran akan terjadi, dan masyarakat sendiri yang akan kembali mengeluh.
Saatnya Masyarakat Berhenti Curiga dan Mulai Terlibat
Opini saya sederhana:Jika kita ingin bantuan sosial tepat sasaran, maka kita juga harus terlibat menjaga datanya tetap benar.
Kalau ada warga miskin belum terdata, sampaikan ke perangkat desa.
Kalau data berubah, laporkan.
Kalau ada kesalahan, koreksi.
Bansos bukan milik orang yang bersuara paling keras, bukan hadiah politik, dan bukan pula urusan “siapa duluan melapor”.
Bansos adalah instrumen negara untuk memastikan warga di desil terbawah bisa bertahan, lalu perlahan naik secara ekonomi.
Dan ingat:Tujuan akhir bansos bukan agar kita seumur hidup menerima bantuan, tetapi agar suatu hari kita tidak lagi memerlukannya. Itulah keberhasilan sesungguhnya.


