Oleh: Revalina Febrianti
Langit di belahan bumi ini baru saja membuang selimut malamnya. Mentari yang malu-malu merayap, menghapus sisa embun dari kaca jendela.
Di tanganku, cangkir teh mint mengepul, membawa aroma kesegaran yang kontras dengan bebanku.
Aku menyesap tehku perlahan. Pikiranku melayang ke sana, ke kota yang tak pernah tidur, tempat ia berjuang.
Aku tahu, ia adalah sebatang lilin yang rela membakar dirinya sendiri demi menerangi jalan masa depannya.
Saat uap teh itu menampar wajahku, aku berbisik pada diriku sendiri, mematri janji itu di udara pagi:
“Aku akan menjadi bendungan kokoh yang menahan arus keraguan, menunggumu pulang dengan cinta dan perasaan yang tetap sama."
Hatiku adalah kompas usang yang selalu menunjuk ke satu arah, tak peduli badai atau kabut. Jarak adalah pisau bermata dua.
Ia menguji, tetapi juga mengukir kesetiaan hingga menjadi relief batu yang tak lekang.
Penantian ini mungkin ladang tandus yang ia sirami dengan air mata rindu, tetapi aku percaya panennya kelak adalah buah emas kebahagiaan.
Di sisi lain, aku berpikir, setelah penantian ini akankah aku yang akan memenangkan mahkota ketenangan? Akankah aku akan menjadi tempat teduh yang paling dicari setelah ia melewati gurun pasir pekerjaan yang melelahkan itu? Akankah Aku akan memenangkan waktu-waktu yang terenggut, mengisi setiap celah sunyi dengan tawa dan kehangatan yang tak bisa dibeli oleh gelar ataupun uang?
Namun, saat melihat matanya yang bagaikan sumur kejujuran tempat aku melihat pengorbanan yang tak terucapkan.
Ia berjuang, bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk fondasi kokoh yang kelak akan kami bangun bersama.
Setiap tetes keringatnya adalah batu bata emas untuk masa depan itu.
Ia tak perlu bicara panjang. Melihat garis kelelahan di sudut matanya saja sudah menjadi peta yang menunjukkan betapa kerasnya ia telah berlayar hari itu.
Aku hanya membalas senyumnya, senyum yang kubuat sehangat mungkin, berusaha menjadi bantalan empuk yang menahan semua bebannya. jiwaku adalah busa yang menyerap segala kekhawatiran yang tak terucap.
Aku mematri harapanku dalam hati. Tidak ada untaian kata yang dapat kuucapkan dan ku harapkan selain,
"Hiduplah lebih lama, aku ingin melihatmu lebih lama lagi."


