![]() |
Workshop Aksara dan Suara Leluhur yang berlangsung selama dua hari, 26–27 Juli 2025, di Edotel Panrita Pitu, SMKN 7 Bone (Foto: Dok. Istimewa) |
TIMURKOTA.COM, BONE- Upaya pelestarian budaya Bugis kembali menggeliat melalui Workshop Aksara dan Suara Leluhur yang berlangsung selama dua hari, 26–27 Juli 2025, di Edotel Panrita Pitu, SMKN 7 Bone.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Andi Amytia Resty Dwiyanti melalui program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan 2025 yang didukung oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX (BPKW XIX).
Workshop ini diikuti oleh puluhan mahasiswa dan siswa dari berbagai institusi pendidikan di Kabupaten Bone. Kegiatan resmi dibuka oleh Hj. Raodah, Pamong Budaya Ahli Madya dari BPKW XIX, dan turut dihadiri oleh Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone.
Dalam sambutannya, Hj. Raodah mengungkapkan apresiasinya terhadap kegiatan ini, seraya menekankan pentingnya regenerasi dalam upaya pelestarian budaya daerah, terutama di kalangan generasi muda.
Hal senada disampaikan oleh Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Bone, yang menyebut kegiatan ini sebagai “langkah konkret dalam menjaga eksistensi aksara Lontara dan tradisi lisan Bugis yang perlahan mulai ditinggalkan.”
Andi Amytia, selaku inisiator kegiatan, menyampaikan harapannya agar warisan budaya tidak hanya hidup dalam bentuk artefak fisik, namun juga terus tumbuh dan melekat di hati masyarakat.
“Melalui workshop ini, saya ingin menanamkan bahwa budaya adalah identitas, bukan sekadar peninggalan,” ungkapnya.
Hari pertama workshop difokuskan pada pelestarian aksara Lontara, mulai dari sejarah aksara, teknik penulisan, hingga praktik membuat karya kaligrafi dan digitalisasi aksara Lontara.
Sementara hari kedua difokuskan pada tradisi lisan Bugis, dengan memperkenalkan jenis-jenis tradisi lisan, pentingnya tradisi lisan dalam konstruksi budaya Bugis, serta sesi kreatif berupa penciptaan dan perekaman karya tradisi lisan secara kolaboratif.
Antusiasme peserta tampak tinggi, terutama saat mereka terlibat langsung dalam praktik menulis aksara Lontara dan menyusun karya tradisi lisan secara berkelompok. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ruang belajar, tetapi juga ruang aktualisasi budaya yang hidup dan relevan dengan tantangan zaman.
Melalui kegiatan ini, diharapkan semangat pelestarian budaya tidak berhenti di ruang workshop, namun terus menjalar ke ruang-ruang publik lainnya, meneguhkan kembali identitas dan kebanggaan sebagai bagian dari kebudayaan Bugis. (*)