Penulis: Rendi Pangalila (Mahasiswa Pendidikan Akuntansi)
TIMURKOTA.COM, MAKASSAR- Makassar tengah menghadapi persoalan sampah yang semakin kompleks, terutama di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sudiang yang kapasitasnya kian terbatas.
Di tengah situasi ini, banyak pihak mulai membandingkan kondisi tersebut dengan keberhasilan pengelolaan sampah di Eco Bali, sebuah model pengelolaan berbasis pemilahan, daur ulang, dan edukasi masyarakat yang dinilai jauh lebih efektif dan ramah lingkungan.
Pertanyaan pun muncul: bagaimana jika konsep serupa diterapkan di Makassar?
Eco Bali dikenal mampu mengurangi beban sampah hingga puluhan ton per hari melalui sistem manajemen yang disiplin dan terstruktur.
Jika metode itu diadopsi di Makassar, bukan tidak mungkin wajah TPA Sudiang dapat berubah signifikan.
Sistem pemilahan sejak rumah tangga, pengolahan organik, hingga pengurangan sampah residu berpotensi memperpanjang usia TPA sekaligus menciptakan lingkungan yang lebih sehat.
Sejumlah pemerhati lingkungan menilai bahwa Makassar memiliki peluang besar menerapkan model tersebut.
Kolaborasi antara pemerintah daerah, komunitas penggiat lingkungan, dan sektor swasta menjadi kunci untuk mewujudkan transformasi nyata.
Jika ekosistem pengelolaan sampah dibangun secara terpadu, TPA Sudiang bukan hanya menjadi tempat pembuangan, tetapi bisa berubah menjadi pusat pengolahan sampah modern yang memberi manfaat sosial, ekonomi, dan ekologis jangka panjang.
Pernahkah kita berpikir, bagaimana jika Makassar bisa mencontoh Bali dalam hal pengelolaan sampah? Saya baru saja kembali dari Bali, salah satu destinasi wisata terbaik di Indonesia, dan berkesempatan melakukan penelitian yang membuka mata saya tentang ECO Bali, sebuah perusahaan yang tengah menjadi pelopor dalam pengelolaan sampah secara ramah lingkungan.
Jika model ECO Bali diterapkan di Makassar, saya yakin kita bisa melihat perubahan besar, khususnya di TPA Sudiang yang kini sudah berada dalam titik kritis.
Bagaimana jika TPA Sudiang bisa berubah wajah menjadi pusat inovasi daur ulang? Mari kita bayangkan bersama.
ECO Bali bukan sekadar perusahaan pengelola sampah. Mereka adalah contoh nyata dari ekonomi sirkular, di mana sampah tidak dipandang sebagai limbah, melainkan sebagai potensi yang bisa dimanfaatkan.
Dengan teknologi modern dan pendekatan yang edukatif, ECO Bali tidak hanya mengolah sampah menjadi produk berguna seperti kompos dan bahan bakar alternatif, tetapi juga mengedukasi masyarakat untuk memulai pemilahan sampah dari rumah.
Konsep ini sangat menarik, terutama di tengah kota besar seperti Makassar, di mana volume sampah terus meningkat setiap tahunnya.
Kenapa Makassar harus belajar dari ECO Bali? Tentu saja, kota kita tengah menghadapi permasalahan besar terkait pengelolaan sampah.
TPA Sudiang sudah tak mampu menampung sampah yang terus bertambah.
Sampah menumpuk, mencemari lingkungan, dan berisiko merusak kualitas hidup warganya.
Bahkan, dampaknya bisa memengaruhi pariwisata dan sektor-sektor lain yang krusial bagi perekonomian kota. Inilah saatnya kita berpikir lebih kreatif dan mengadopsi solusi yang sudah terbukti efektif di tempat lain.
Bayangkan jika Makassar bisa memiliki model seperti ECO Bali. Proses pengelolaan sampah yang dimulai dari pemilahan di tingkat rumah tangga, diikuti dengan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan, akan mengurangi tekanan pada TPA Sudiang.
Sisa-sisa sampah yang tidak terpakai bisa diubah menjadi produk bernilai, sementara sampah organik bisa menjadi kompos yang bermanfaat untuk pertanian atau penghijauan kota.
Tidak hanya itu, jika ECO Bali hadir di Makassar, mereka juga dapat memberikan edukasi yang mendalam kepada masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan sampah yang bijak.
Tentu, tidak semua hal akan berjalan mulus. Tantangan terbesar adalah mengubah mindset masyarakat yang belum sepenuhnya menyadari betapa pentingnya memilah sampah dengan benar.
Selain itu, pengadaan fasilitas pengolahan sampah yang modern dan memadai juga akan menjadi tugas besar. Namun, dengan kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, saya yakin solusi ini bisa diterapkan secara efektif.
Pemerintah kota Makassar harus terlibat aktif dalam mendukung kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan dan menyediakan insentif bagi perusahaan yang berkomitmen pada pengelolaan sampah berbasis teknologi.
Jangan lupakan dampak positif yang bisa dihasilkan oleh adanya ECO Bali di Makassar.
Selain menciptakan lapangan pekerjaan baru, kita juga bisa mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA, mengurangi polusi, dan menciptakan kota yang lebih hijau dan bersih.
Bahkan, jika konsep ini berkembang, Makassar bisa menjadi kota contoh dalam hal pengelolaan sampah berbasis teknologi di Indonesia.
Ini bukan hanya tentang menjaga kebersihan kota, tetapi juga tentang menjaga kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.
Sekarang, saya mengajak Anda untuk membayangkan satu hal: bagaimana jika TPA Sudiang tidak lagi menjadi tumpukan sampah, tetapi berubah menjadi pusat pengolahan sampah yang inovatif? Bagaimana jika Makassar bisa menjadi kota yang tidak hanya bersih, tetapi juga menjadi inspirasi bagi kota-kota lain dalam mengelola sampah dengan cara yang ramah lingkungan? Mari kita bersama-sama mewujudkan visi tersebut, dan semoga ECO Bali bisa menjadi bagian dari perubahan besar ini.
Saya berharap tulisan ini bisa menarik perhatian pemerintah kota Makassar dan mendorong mereka untuk memikirkan secara serius penerapan solusi berbasis ECO Bali. Tidak hanya untuk kepentingan lingkungan, tetapi juga untuk masa depan Makassar yang lebih baik dan berkelanjutan (*)


