Ilustrasi Pengguna Trawl di Kabupaten Bone (Foto: Dok. Istimewa) |
TIMURKOTA.COM, BONE- Keluhan yang sama dengan nelayan di Kecamatan Sibulue juga dialami para warga yang menggantungkan hidupnya dengan melaut di Kecamatan Salomekko, Kabupaten Bone.
Mereka mengakui adanya sejumlah pelaku trawl yang secara terang-terangan melancarkan aksinya dengan alasan ada orang hebat di belakangnya.
Ketika para nelayan yang berada di luar kelompok tersebut melakukan penangkapan ikan dengan trawl maka selalu merasa diintimidasi dan disebut akan ditangkap polisi.
"Kami sebagai nelayan merasa dirugikan. Karena mereka yang berbuat namun dampaknya ke nelayan biasa. Kalau ada yang menggunakan alat tangkap trawl maka selalu diintimidasi dan disebut akan jadi sasaran operasi polisi oleh anggota dari Oknum LSM HSB ini," ungkap seorang nelayan asal Kecamatan Salomeko kepada tim timurkota.com.
Ia melanjutkan, nelayan secara umum tidak mempermasalahkan aturan. Bahkan mereka siap mematuhi segala aturan yang berlaku.
"Namun harus adil. Jangan ada kelompok tertentu yang notabenenya pelanggaran berat tapi tidak tersentuh dengan APH, alasannya ada oknum LSM di belakangnya yang selalu lindungi dan kasih informasinya kalau ada penggerebekan," ungkapnya lagi.
Menurut informasi di Kecamatan Salomekko ada kurang lebih 20 orang nelayan yang menggunakan trawl dan yang merupakan anggota dari oknum LSM HSB. Mereka semua dilengkapi atribut.
Sebelumnya diberitakan, Kasus dugaan keterlibatan oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berinisial HSB dalam praktik ilegal penggunaan alat tangkap ikan trawl di Kabupaten Bone telah mencuat.
Perwakilan nelayan setempat telah melaporkan temuan ini ke Kepolisian Resort Bone. Berikut adalah lima fakta penting mengenai kasus ini yang perlu diketahui oleh masyarakat.
1. Modus Operandi Pengguna Trawl
Menurut keterangan yang diberikan oleh nelayan bernama JM, praktik ilegal ini melibatkan kelompok-kelompok nelayan yang menggunakan trawl, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pukat Harimau.
Modus operandi yang dilakukan adalah dengan mengelompokkan nelayan pengguna trawl dan menunjuk satu orang sebagai koordinator.
Koordinator ini bertugas untuk menyampaikan informasi mengenai penangkapan kepada para nelayan, sehingga mereka dapat menghindari tindakan penegakan hukum.
JM menjelaskan bahwa dengan cara ini, hanya kelompok tertentu yang bisa melakukan penangkapan ikan dengan metode trawl.
Nelayan yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut akan ditangkap jika mencoba menggunakan metode yang sama. Praktik ini menciptakan ketidakadilan di kalangan nelayan, di mana mereka yang tidak memiliki "bekingan" akan kesulitan dalam mencari nafkah.
2. Dampak pada Nelayan Tradisional
Praktik penangkapan ikan dengan metode trawl yang dilakukan oleh kelompok tertentu ini berdampak negatif bagi nelayan tradisional.
Banyak nelayan yang, karena kesulitan mendapatkan hasil maksimal dengan metode tradisional, terpaksa beralih menggunakan trawl, yang sebenarnya dilarang.
JM mengungkapkan bahwa nelayan yang tidak memiliki dukungan atau "bekingan" sering kali menjadi korban penangkapan oleh pihak berwenang.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam industri perikanan lokal, di mana nelayan yang seharusnya bisa berkompetisi secara adil malah tertekan oleh praktik ilegal yang didukung oleh oknum tertentu.
Hal ini tidak hanya merugikan mereka secara ekonomi, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem perairan lokal.
3. Tuntutan terhadap Pihak Kepolisian
Para nelayan yang menjadi perwakilan dalam laporan ini menuntut pihak kepolisian untuk bertindak tegas dan tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum.
JM menegaskan bahwa jika penggunaan trawl dilarang, maka seharusnya semua pengguna, tanpa terkecuali, harus ditangkap.
Mereka menginginkan keadilan dan transparansi dalam penegakan hukum agar tidak ada kelompok tertentu yang merasa diuntungkan dari praktik ilegal ini.
Tuntutan ini mencerminkan kekhawatiran nelayan terhadap penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Hal ini menimbulkan persepsi bahwa ada adanya kolusi antara pihak-pihak tertentu dengan oknum LSM yang diduga terlibat.
4. Belum Ada Klarifikasi dari Oknum LSM dan Polres Bone
Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi dari oknum LSM berinisial HSB maupun pihak Polres Bone mengenai dugaan keterlibatan dalam praktik ilegal ini.
Ketidakjelasan ini menambah ketegangan di kalangan nelayan yang merasa dirugikan.
Para nelayan berharap agar pihak berwenang segera memberikan penjelasan dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini.
Ketiadaan respons dari pihak terkait dapat menimbulkan spekulasi di kalangan masyarakat dan memperburuk kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Oleh karena itu, penting bagi pihak-pihak yang terlibat untuk segera memberikan klarifikasi untuk mencegah ketidakpuasan masyarakat.
5. Pentingnya Penegakan Hukum yang Adil
Kasus ini menjadi sorotan penting mengenai perlunya penegakan hukum yang adil dan transparan dalam sektor perikanan.
Praktik penggunaan trawl telah lama dilarang karena dampaknya yang merugikan terhadap lingkungan dan keberlanjutan sumber daya ikan.
Dalam konteks ini, penegakan hukum yang konsisten dan tidak diskriminatif menjadi sangat penting.
Pihak kepolisian diharapkan dapat melakukan penyelidikan yang mendalam dan objektif terhadapnya dugaan keterlibatan oknum LSM serta praktik ilegal yang terjadi.
Selain itu, diperlukan kesadaran dan edukasi kepada nelayan tentang praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan agar mereka dapat menghindari tindakan ilegal dan berkontribusi pada pelestarian sumber daya laut. (*)