Oleh:
Salamatang. S. H
Pengurus Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Seluruh Indonesia
Politik sering kali dianggap sebagai dunia yang keras dan kejam. Perebutan kekuasaan, intrik, serta manuver politik yang tidak selalu bersih membuat banyak orang melihat politik sebagai arena di mana kepentingan pribadi sering kali mengalahkan kepentingan bersama.
Namun, apakah politik yang kejam tersebut berarti bahwa etika harus ditinggalkan? Jawabannya tentu saja tidak.
Politik yang dijalankan dengan etika justru menjadi fondasi bagi terciptanya pemerintahan yang adil dan bermartabat.
Dalam konteks Kabupaten Bone, yang merupakan wilayah pemerintahan berdaulat sejak tahun 1330, nilai-nilai etika memiliki akar yang sangat kuat.
Bone dikenal dengan konsep ade' pangadereng, yang menjadi pedoman dalam tata kelola kehidupan sosial dan politik masyarakatnya.
Ade' pangadereng mencakup nilai-nilai adat, hukum, dan norma sosial yang mengedepankan keharmonisan serta penghormatan terhadap sesama.
Nilai-nilai seperti sipakatau (saling menghargai sebagai manusia) dan sipakalebbi (saling memuliakan) menjadi bagian dari identitas budaya Bone.
Namun, seiring dengan mendekatnya momentum politik seperti Pilkada, ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai etika ini mulai diasingkan dalam persaingan politik yang semakin tajam.
Kampanye yang keras, adu strategi yang tidak selalu etis, serta pengabaian terhadap norma-norma adat mulai tampak dalam proses politik tersebut.
Hal ini tentu menjadi ironi mengingat Bone, yang memiliki warisan budaya politik yang beretika, seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana politik modern dijalankan dengan tetap menghormati nilai-nilai tradisi.
Persaingan politik yang terjadi memang sering kali membawa tekanan untuk memenangkan kursi kekuasaan. Namun, jika kemenangan dicapai dengan mengorbankan nilai-nilai sipakatau dan sipakalebbi, maka yang terjadi adalah kerusakan sosial yang lebih besar.
Politik yang mengesampingkan etika dapat merusak tatanan sosial yang telah dibangun berabad-abad. Masyarakat Bone, dengan sejarah panjangnya, tentu memiliki harapan agar para pemimpin politik tetap mengedepankan etika dalam setiap langkah mereka.
Politik yang beretika bukanlah sesuatu yang utopis atau tidak mungkin terjadi. Sebaliknya, politik yang mengakar pada nilai-nilai lokal justru mampu memperkuat legitimasi pemimpin di mata masyarakat.
Di Bone, etika politik yang berlandaskan sipakatau dan sipakalebbi seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap langkah politik. Dengan menjaga nilai-nilai ini, Pilkada di Bone dapat berlangsung dengan damai, adil, dan bermartabat.
Pada akhirnya, masyarakat Bone dan para aktor politik harus bersama-sama mengembalikan etika dalam setiap aspek kontestasi politik. Nilai-nilai luhur yang diwariskan dalam ade' pangadereng tidak boleh diabaikan demi kepentingan sesaat.
Justru dengan menjaga nilai-nilai ini, Bone dapat menjadi contoh bagaimana politik yang beretika bisa membawa kesejahteraan dan keharmonisan bagi seluruh masyarakat. (*)