Iklan

Sejarah Sumur Tua Majang, Peninggalan Kerajaan Bone yang Kembali Difungsikan untuk Tradisi Cemme Sapareng

tim redaksi timurkotacom
Sabtu, November 01, 2025 | 7:24 AM WIB Last Updated 2025-11-01T00:24:05Z

TIMURKOTA.COM, BONE- Sumur Tua Majang, peninggalan bersejarah dari Kerajaan Bone, kembali difungsikan sebagai pusat tradisi ‘Cemme Sapareng’ yang rutin digelar masyarakat setempat. 


Tradisi ini menjadi bagian penting dari warisan budaya Bone, sekaligus mempererat hubungan antarwarga melalui ritual adat dan doa bersama.

Sejarah Sumur Tua Majang mencatat bahwa sumur ini dulunya menjadi salah satu sumber air utama kerajaan dan pusat kegiatan masyarakat. 

Selain fungsinya sebagai penopang kehidupan sehari-hari, sumur ini juga memiliki nilai spiritual yang tinggi, sehingga setiap ritual adat selalu melibatkan lokasi ini sebagai simbol keberkahan.

Kepala adat setempat menjelaskan, tradisi Cemme Sapareng dilaksanakan untuk memohon keselamatan, kemakmuran, dan keberkahan bagi warga Bone. 

“Sumur Tua Majang bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi juga sarana spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan leluhur mereka,” ujarnya.

Seiring dengan revitalisasi sumur ini, pemerintah daerah dan komunitas lokal turut mendukung pelestarian budaya. 

Fasilitas pendukung seperti akses jalan, area parkir, dan papan informasi sejarah telah disiapkan untuk mempermudah pengunjung dan peserta ritual. Upaya ini sekaligus menjadi daya tarik wisata budaya bagi Bone.

Tradisi Cemme Sapareng yang kembali digelar di Sumur Tua Majang diharapkan dapat menjaga kelestarian adat istiadat, sekaligus mengenalkan sejarah kerajaan Bone kepada generasi muda. 

Masyarakat diimbau untuk terus melestarikan budaya lokal sebagai bagian dari identitas dan kekayaan sejarah Bone.

Ada banyak tempat bersejarah di Kabupaten Bone. Sebagai daerah yang dulunya berbentuk kerajaan ada beberapa situs bersejarah yang mesti dilestarikan.

Warga membersihkan Bubung Karajae yang terletak di Kelurahan Majang, Kecamatan Tanete Riattang Barat, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

LAPORAN: WIWINK, Watampone

Bone tak hanya dikenal sebagai daerah dengan memiliki wilayah terluas di Sulawesi Selatan. 

Kabupaten yang berbatasan langsung dengan enam kabupaten lain (Maros, Gowa, Sinjai, Soppeng, Wajo dan Barru) ini memiliki beragam budaya dan tradisi yang secara turun temurun masih dilestarikan hingga saat ini.

Ada tradisi di Kecamatan Tellu Limpoe, dimana masyarakat setempat hanya melaksanakan pernikahan selama satu kali dalam satu tahun. 

Artinya, di luar bulan tersebut maka warga tak mau menikahkan anaknya dengan alasan pernikahan tak akan bertahan lama. 

Ketika ingin meningkah lalu waktu yang disepakati penduduk setempat telah lewat, maka calon pengantin harus menunggu selama satu tahun, atau memilih menikah di luar dari kampung tersebut.

Belum lagi tradisi lain, termasuk juga beberapa situs dan tempat bersejarah yang hingga saat ini masih terawat dengan baik. 

Bahkan, tiap tempat bersejarah, selalu ada pesta adat yang dilestarikan penduduk setempat. 

Salah satunya, Bubung Karajae di Kelurahan Majang, Kecamatan Tanete Riattang Barat, Kabupaten Bone. 

Oh ya, sekadar di ketahui Bubung adalah bahasa bugis, jika diartikan dalam bahasa Indonesia artinya Sumur.

Bubung Karajae menyimpan banyak cerita, mulai distinasy wisata religy hingga kisah mistis. 

Sama dengan tempat bersejarah lainnya, ada beberapa pantangan tak boleh dilakukan ketika berkunjung ke Bubung Karajae.

Salah satunya tak boleh angkuh, dan memandang remeh lokasi tersebut. Jika tidak, bisa saja mengalami hal-hal tak dinginkan.

Penulis mencoba menggali sejarah Bubung Karajae melalui seorang tokoh agama Kelurahan Majang, Ustads Awaluddin 

Ia menjelaskan, bahwa dari sejarahnya diketahui pada tahun 1775

La temmassonge toappawali mangkau ke-22 mempunyai anak bernama We Tenri Pakkemme Arung Majang suaminya bernama la Muanneng Arung Pacciro.

"Inilah yang membuat bubung, lalu mendirikan rumah tak jauh dari bubung Karajae," ulas Ustadz Awaluddin kepada penulis.

Belakangan meski belum dapat dirinci kapan munculnya tradisi tolak bala dalam bahasa bugis disebut Cemme Sapareng. 

Yang artinya, mandi dihari Rabu terakhir di bulan safar sebagai bentuk mandi tolak bala. 

Selain tolak bala, warga melestarikan tradisi tersebut yang diyakini sebagai kekayaan dan peninggalan leluhur mereka.

"Namun dalam kurung waktu delapan tahun belakangan. Sumur ini terkesan tak terawat. Begitu juga dengan Cemme Sapareng tak dilakukan lagi," lanjutnya.

Setelah melakukan pertemuan dengan lintas tokoh Majang, akhirnya dilakukan pembersihan dan pembenahan sumur untuk kembali dilaksanakan Cemme Sapareng.

"Warga bersepakat untuk bergotong royong secara swadaya agar kedepannya  bubung (sumur )  karaja E  bisa dijadikan sebagai tempat destinasi wisata sejarah dan wisata religius", imbuhnya.

Untuk melestarikan tempat bersejarah atau bahkan menyulap untuk dijadikan tempat wisata. Tak cukup jika hanya mengandalkan gotong royong warga.

Perlu campur tangan pemerintah, termasuk kucuran dana untuk menjadikan Sumur Karajae tempat wisata  dan menjadi ikon Kabupaten Bone ke depan.

"Kami pun juga berharap agar pemerintah daerah bisa memperhatikan pembangunan bubung Karaja E yang harapan kedepan menjadi salah satu tempat dikunjungi warga Bone dan sekitarnya," tutup, Awaluddin. (*)


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sejarah Sumur Tua Majang, Peninggalan Kerajaan Bone yang Kembali Difungsikan untuk Tradisi Cemme Sapareng
« Prev Next »

Jangan lupa ikuti kami di

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Trending Now

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Iklan

.entry-content { line-height: 1.4em; }