Ady Mancanegara
Lembaga Bantuan Hukum PB PMII
TIMURKOTA.COM, BONE- Absennya Pemimpin dan hadirnya kekerasan merupakan bagian dari potret buramnya penanganan aksi oleh Aparat Gabungan Polri, TNI dan Satpol PP Terhadap Massa Aksi Protes Kenaikan PBB P-2 300℅ di Bone.
Gelombang penolakan masyarakat yang tergabung dalam massa aksi yang terjadi di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan pada hari senin, 19 Agustus 2025 yang berlangsung pada siang hari hingga pukul 22:20 wita.
Di sekitar kantor Bupati Bone, hingga jalan Ahmad Yani menuju kampus IAIN Bone merupakan titik kericuhan.
Tentu hal ini menyita perhatian publik setelah aksi penolakan kenaikan PBB P-2 di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah.
Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P-2) akan menuai banyak penolakan di berbagai daerah.
Kebijakan tersebut dinilai memberatkan rakyat kecil yang masih berjuang menghadapi tekanan ekonomi pasca pandemi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Bagi banyak warga, kenaikan PBB P-2 bukan hanya sekadar persoalan administratif, melainkan ancaman nyata terhadap keberlangsungan hidup masyarakat kelas menengah ke bawah, petani, pedagang kecil, hingga pekerja informal.
Aksi demonstrasi yang digelar di Kabupaten Bone sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan tersebut seharusnya menjadi ruang bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasi secara damai, sesuai dengan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945.
Namun, Andi Asman Sulaiman selaku Bupati Bone tidak menampakkan dirinya di hadapan massa aksi yang melakukan protes sehingga hal ini memicu adanya gesekan antara demonstran dan aparat.
Situasi di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya.
Alih-alih melindungi hak warga negara, aparat gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, dan Satpol PP justru melakukan tindakan represif terhadap demonstran dan tim Media Pers yang sedang melakukan peliputan, terlebih lagi Masjid Agung Kabupaten Bone juga ikut menjadi sasaran tembakan gas air mata yang menandakan bahwa tembakan ini dilakukan secara serampangan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Berbagai laporan menyebutkan adanya sejumlah aksi kekerasan yang dialami beberapa orang, aparat kepolisian secara kerumunan dengan brutal memukul dan meringkus demonstran. Terdapat beberapa demonstran yang mengalami luka berat pada bagian kepala.
Aparat juga melakukan penyisiran hingga ke permukiman warga untuk mencari peserta aksi, suatu praktik yang mencederai prinsip negara hukum.
Tidak hanya itu, penggunaan kekuatan secara berlebihan melalui penembakan gas air mata secara membabi buta menimbulkan kepanikan massal dan mengakibatkan korban terluka.
Tindakan-tindakan represif tersebut jelas merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Hak atas kebebasan berpendapat, hak berkumpul, serta hak untuk bebas dari perlakuan sewenang-wenang telah terabaikan.
Negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung rakyat justru memperlihatkan wajah kekuasaan yang mengedepankan kekerasan ketimbang dialog.
Atas semua kejadian yang telah berlangsung, melalui Sekretaris Daerah Bone telah dikeluarkannya pernyataan resmi Pemerintah Daerah mengenai kenaikan PBB akan mengalami penundaan untuk sementara waktu dan akan dilakukan koordinasi dan pengkajian yang lebih mendalam.
Atas situasi ini, penolakan terhadap kenaikan PBB P-2 tidak hanya soal beban ekonomi, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap praktik represif yang merusak sendi-sendi demokrasi.
Pemerintah bersama aparat keamanan dituntut untuk segera menghentikan tindakan intimidatif, membebaskan para demonstran yang ditahan tanpa dasar, serta membuka ruang dialog dengan masyarakat.
Hanya dengan jalan demokratis, adil, dan menghormati hak rakyat, penyelesaian konflik kebijakan ini dapat dicapai tanpa harus mengorbankan martabat kemanusiaan. (*)