Iklan

Tubuh, Kuasa, dan Kekerasan: Membongkar Kekerasan Seksual lewat Kacamata Foucault

tim redaksi timurkotacom
Sabtu, Juni 14, 2025 | 3:17 PM WIB Last Updated 2025-06-14T08:20:47Z

Penulis : Rendi Pangalila
Ketua Umum HMI Komisariat UNM Gunung Sari



TIMURKOTA.COM- Kekerasan seksual bukan hanya soal nafsu yang tak terkendali atau pelampiasan hasrat semata. Ia adalah peristiwa kompleks yang terjadi dalam pusaran kuasa, dominasi, dan pengendalian tubuh. 

Dalam masyarakat yang tampak normal di permukaan, kekerasan seksual menjelma menjadi wujud paling brutal dari ketimpangan kuasa. 

Siapa yang boleh menyentuh, siapa yang harus diam, dan siapa yang akhirnya disalahkan semuanya adalah permainan kekuasaan yang tak kasat mata. 

Untuk memahami kekerasan seksual lebih dalam, kita perlu meninggalkan cara pandang moralistik dan memasuki ruang filsafat kuasa. Di sinilah Michel Foucault menjadi sosok kunci.

Foucault, filsuf asal Prancis, terkenal dengan gagasannya tentang bagaimana kekuasaan bekerja bukan hanya melalui kekerasan fisik atau hukum tertulis, tetapi melalui normalisasi, pengawasan, dan produksi “kebenaran”. 

Bagi Foucault, tubuh manusia adalah titik pusat kekuasaan. Tubuh dikendalikan, diawasi, dilatih, dibentuk, dan bahkan dihukum agar sesuai dengan norma sosial. 

Dalam konteks ini, kekerasan seksual bukanlah penyimpangan dari norma, melainkan cerminan dari struktur kuasa yang telah mapan dan berlangsung lama.
Tubuh Sebagai Objek Politik
Dalam karya Discipline and Punish, Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja lewat hukuman publik yang brutal, melainkan melalui kontrol terhadap tubuh. 

Sekolah, rumah sakit, militer, dan penjara adalah institusi yang membentuk tubuh agar patuh. Namun, kontrol ini juga terjadi dalam relasi gender dan seksualitas. 

Perempuan, misalnya, telah lama diposisikan sebagai objek yang harus “dijaga”, “dilindungi”, atau “dikendalikan”, bukan karena mereka lemah, tapi karena tubuh mereka dianggap sebagai wilayah yang bisa dikontrol dan diatur oleh kekuasaan patriarki.
Kekerasan seksual, dalam kerangka ini, bukan hanya tindakan brutal terhadap individu, melainkan ekspresi dari bagaimana tubuhterutama tubuh perempuan dan kelompok rentan telah dijadikan objek politik. Tubuh bukan lagi milik individu, tapi milik tatanan sosial yang lebih besar. 

Maka, ketika seseorang mengalami kekerasan seksual, itu bukan hanya luka pada tubuhnya, tetapi juga perwujudan dari sistem kuasa yang telah menormalisasi dominasi dan ketimpangan.
Kuasa Tidak Pernah Netral
Salah satu gagasan utama Foucault adalah bahwa kuasa tidak hanya menindas, tapi juga membentuk. 

Kuasa menciptakan subjektivitas, memproduksi kategori, dan menetapkan siapa yang sah dan siapa yang menyimpang. Dalam konteks kekerasan seksual, hal ini tampak jelas dalam cara masyarakat merespons korban. 

Alih-alih mendengar, korban sering dihakimi, dicurigai, atau bahkan disalahkan. Mengapa ia berada di tempat itu? Mengapa memakai pakaian seperti itu? Mengapa tidak melawan?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar bentuk ketidaktahuan, tetapi wujud nyata dari kuasa yang bekerja untuk mempertahankan ketimpangan. Kuasa menciptakan narasi bahwa korban harus sempurna agar layak mendapat simpati. 

Sementara pelaku, apalagi jika ia punya posisi sosial, seringkali dilindungi oleh sistem yang membentuknya. Kuasa tidak pernah netral. Ia selalu berpihak dan seringkali bukan pada korban.
Foucault juga menekankan bahwa kuasa bukan milik satu institusi atau individu saja. 

Ia tersebar dalam jaringan sosial yang luas, bahkan hadir dalam relasi sehari-hari. Maka, kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lorong gelap atau kamar tertutup. 

Ia bisa terjadi di ruang kuliah, kantor, rumah ibadah, bahkan di dalam keluarga di tempat-tempat yang justru dianggap paling aman. Dan semua ini dibungkus dalam struktur kuasa yang kompleks dan tak kasat mata.
Hasrat, Seksualitas, dan Pengetahuan
Dalam bukunya The History of Sexuality, Foucault membongkar mitos bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang “membungkam” seksualitas. 

Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa modernitas justru penuh dengan diskursus tentang seks diatur, didata, dibahas, dan dijelaskan oleh para dokter, psikolog, pendeta, dan negara. 
Seks bukan dibungkam, tapi dikontrol melalui produksi pengetahuan.
Dalam konteks kekerasan seksual, ini berarti bahwa pelabelan, klasifikasi, dan pengaturan terhadap seksualitas sangat menentukan bagaimana sebuah tindakan dinilai. 

Apa yang disebut “normal”, “menyimpang”, “hasrat”, atau “pelecehan” semuanya dibentuk oleh struktur pengetahuan yang tidak netral. 

Bahkan lembaga hukum pun sering mereproduksi bias ini, dengan menyulitkan korban untuk membuktikan bahwa yang ia alami adalah kekerasan, bukan sekadar “kesalahpahaman”.
Foucault mengajak kita untuk tidak sekadar melihat kekerasan seksual sebagai pelanggaran moral, tapi sebagai gejala dari sistem pengetahuan dan kuasa yang bekerja secara simultan. 

Dengan demikian, upaya melawan kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan hukuman pidana, tapi harus disertai dengan kritik terhadap sistem sosial yang menopangnya termasuk media, pendidikan, hukum, dan budaya populer.
Perlawanan dan Pengambilalihan Tubuh
Namun Foucault tidak meninggalkan kita dalam keputusasaan. Ia percaya bahwa di mana ada kuasa, di situ ada perlawanan. Tubuh, meski dikendalikan, tetap bisa menjadi alat pembebasan. 

Perlawanan terhadap kekerasan seksual bukan hanya terjadi dalam ruang hukum, tapi juga dalam narasi, dalam suara, dalam keberanian korban untuk berbicara, dan dalam solidaritas kolektif yang menolak bungkam.
Ketika perempuan dan kelompok rentan mengambil alih kembali narasi atas tubuh mereka, mereka sedang menantang struktur kuasa yang telah lama menindas. 

Kampanye seperti #MeToo, forum-forum penyintas, hingga advokasi berbasis komunitas adalah bentuk-bentuk perlawanan yang lahir dari tubuh yang pernah direpresi. 

Ini adalah pertempuran antara tubuh yang dilihat sebagai objek, dan tubuh yang kini bicara sebagai subjek.
Foucault mungkin tidak memberikan solusi pasti atau jalan keluar moral, tapi ia memberi kita alat untuk membongkar apa yang selama ini tak terlihat. 

Ia mengingatkan bahwa kekerasan seksual tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dari struktur sosial yang harus terus dikritisi dan dibongkar. 

Kita tidak hanya butuh empati, tapi juga keberanian intelektual untuk menggugat akar masalahnya.
Filsafat untuk Kehidupan Nyata
Mengapa kita perlu membawa filsafat ke dalam diskusi tentang kekerasan seksual? Karena filsafat mengajarkan kita untuk tidak menerima kenyataan begitu saja. 

Ia mendorong kita untuk bertanya, menggugat, dan meragukan yang selama ini dianggap normal. Dalam dunia yang sering kali lebih sibuk mengatur tubuh perempuan ketimbang mendengar jeritannya, filsafat menjadi alat pembebasan.
Kekerasan seksual tidak hanya soal individu bejat, tapi juga sistem yang membiarkan kekuasaan bekerja tanpa kontrol. 

Foucault membantu kita melihat bagaimana tubuh telah menjadi medan pertempuran kuasa dan bagaimana perlawanan dimulai dari tubuh yang berani bicara. (*)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tubuh, Kuasa, dan Kekerasan: Membongkar Kekerasan Seksual lewat Kacamata Foucault
« Prev Next »

Jangan lupa ikuti kami di

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Trending Now

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Iklan

.entry-content { line-height: 1.4em; }