Iklan

IPK Tinggi, Aksi Sosial Nihil: Mahasiswa atau Kolektor Sertifikat?

tim redaksi timurkotacom
Rabu, Juni 25, 2025 | 4:37 AM WIB Last Updated 2025-06-24T21:37:56Z

Oleh : Rendi Pangalila



TIMURKOTA.COM, MAKASSAR- Di tengah maraknya postingan wisuda, sederet gelar akademik yang dipamerkan di media sosial, serta bangganya membawa pulang ijazah, muncul satu pertanyaan mendasar: Apakah mahasiswa hari ini benar-benar telah memberi dampak bagi masyarakat, atau sekadar sibuk mengejar nilai dan sertifikat untuk portofolio pribadi? Ironi ini mencuat saat realitas di luar kampus tetap timpang: ketimpangan ekonomi melebar, konflik agraria terus terjadi, hingga kebijakan pendidikan yang tak berpihak pada rakyat kecil. 

Dalam keadaan seperti ini, peran mahasiswa sebagai agen perubahan nyaris tak terasa. Padahal sejarah mencatat bahwa mahasiswa pernah menjadi aktor penting dalam setiap perubahan besar bangsa ini.

Mahasiswa sering disebut sebagai "agent of change", "moral force", dan "iron stock". Namun kini, sebutan-sebutan itu hanya menjadi slogan kosong yang tertulis di spanduk organisasi tanpa pembuktian nyata. 

Banyak mahasiswa lebih sibuk mengejar IPK sempurna, sertifikat pelatihan, dan penghargaan lomba akademik, tanpa pernah bersentuhan langsung dengan realitas sosial yang seharusnya mereka perjuangkan. 

Mereka menjadikan kampus hanya sebagai tempat mengumpulkan nilai, bukan medan belajar membela kepentingan publik.

Fenomena ini tidak lahir secara tiba-tiba. Ada sistem pendidikan tinggi yang semakin kapitalistik memaksa mahasiswa untuk berorientasi pada pasar kerja, bukan pada nilai-nilai kemanusiaan atau keadilan sosial. Mahasiswa didorong untuk menjadi kompetitif secara individu, bukan kolektif secara ideologis. 

Maka tak heran bila banyak mahasiswa mengukur kesuksesannya dari seberapa cepat lulus, berapa banyak seminar yang diikuti, atau berapa kali naik panggung penghargaan, bukan dari apa kontribusinya terhadap desa tertinggal, kaum miskin kota, atau lingkungan yang rusak.

Ironisnya, mereka yang aktif di organisasi, demonstrasi, atau advokasi masyarakat, justru sering dicap “tidak fokus kuliah”, “terlalu idealis”, bahkan dianggap gagal karena IPK-nya tak mengilap. 

Di sinilah titik kemunduran berpikir kita: nilai-nilai sosial dikalahkan oleh angka-angka di transkrip. Banyak mahasiswa akhirnya memilih jalur aman tidak bersuara, tidak bergerak, cukup hadir di kelas dan kumpulkan tugas. 

Padahal, sejarah Indonesia mencatat bagaimana mahasiswa mampu mengubah arah bangsa: pergerakan mahasiswa 1966 yang menurunkan Soekarno, gerakan reformasi 1998 yang menjatuhkan Soeharto, semua lahir dari kesadaran dan keberanian mahasiswa untuk bersikap, bukan dari nilai IPK mereka.

Data juga menunjukkan gejala ini. Sebuah survei yang dilakukan oleh Tirto tahun 2024 terhadap mahasiswa di 10 universitas negeri besar di Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 72% mahasiswa mengaku belum pernah terlibat langsung dalam kegiatan sosial atau advokasi masyarakat. 

Sebaliknya, lebih dari 85% merasa kegiatan akademik dan peningkatan CV lebih penting untuk masa depan mereka. 

Hal ini menunjukkan betapa kuatnya arus pragmatisme dalam dunia kampus hari ini seolah-olah dunia luar cukup diserahkan kepada pemerintah atau LSM, sementara mahasiswa hanya fokus pada masa depannya sendiri.
Tentu bukan berarti IPK tinggi atau lomba akademik adalah hal buruk. 

Namun pertanyaannya: apakah semua itu menjadi tujuan akhir, atau hanya alat? Bila mahasiswa menjadikan IPK dan sertifikat sebagai alat untuk memperkuat kapasitas dirinya agar bisa lebih berdampak bagi masyarakat, maka itu adalah arah yang benar. 

Tapi jika semua itu hanya untuk aktualisasi diri, untuk foto di LinkedIn, atau untuk kepentingan korporat pribadi, maka peran mahasiswa sedang dikerdilkan oleh ambisi individual.

Yang lebih memprihatinkan, banyak kampus justru ikut menciptakan mahasiswa seperti ini. Program-program kampus lebih banyak diarahkan pada prestasi kompetitif, bukan kolaboratif. 

Mahasiswa diajari untuk memenangkan lomba, bukan memenangkan nasib rakyat. Kampus berlomba-lomba mencetak “mahasiswa berprestasi nasional” versi Kementerian, namun melupakan bagaimana mencetak mahasiswa yang peka terhadap ketidakadilan sosial. 

Akibatnya, kampus menjadi seperti pabrik gelar tempat mencetak lulusan tanpa ruh perjuangan, tanpa nurani kemanusiaan.

Sementara itu, realita di luar kampus makin menjerit. Petani digusur, buruh di-PHK massal, pendidikan makin mahal, dan lingkungan terus rusak. 

Tapi mahasiswa diam. Mereka sibuk webinar, lomba debat, dan belajar TOEFL. Lagi-lagi, bukan karena kegiatan itu salah, tetapi karena tidak pernah disambungkan dengan tujuan sosial yang lebih besar. 

Mahasiswa yang peka seharusnya bisa menjadikan segala keterampilan akademiknya sebagai senjata untuk membantu rakyat. 

Misalnya, mahasiswa hukum mendampingi kasus rakyat kecil, mahasiswa teknik merancang alat tepat guna di desa, atau mahasiswa ekonomi membantu UMKM bertahan di tengah krisis.

Esai ini bukan untuk menghakimi, melainkan mengingatkan. Mahasiswa bukan hanya sekadar status sosial, apalagi sekadar gelar. 

Mahasiswa adalah peran. Gelar bukan akhir, tapi awal dari tanggung jawab sosial. Seorang sarjana hukum yang tak membela keadilan sosial, atau sarjana pendidikan yang tak pernah menyentuh murid miskin, adalah kegagalan besar dari sistem pendidikan kita. 

Mahasiswa harus mulai kembali bertanya pada diri sendiri: Apakah saya kuliah hanya untuk diri saya sendiri, atau juga untuk orang lain?
Kita sedang berada di masa di mana "prestasi individu" dirayakan berlebihan, sementara gerakan kolektif dipinggirkan. Mahasiswa yang aktif di kegiatan sosial atau organisasi dianggap menghambat masa studi. 

Padahal, mahasiswa yang pernah terlibat dalam persoalan masyarakat biasanya justru memiliki wawasan lebih luas, daya analisis yang tajam, dan kepekaan sosial yang tinggi bekal penting untuk membangun bangsa ke depan. 

Sudah saatnya mahasiswa hari ini mengubah paradigma bahwa kuliah bukan hanya soal lulus, tapi soal berproses untuk menjadi manusia yang berdampak.

Di tengah zaman yang serba digital dan kompetitif, tantangan mahasiswa memang makin kompleks. Namun, itu bukan alasan untuk bersikap apatis. Mahasiswa punya akses ilmu, jaringan, dan ruang berpikir yang tidak dimiliki masyarakat awam. 

Maka, jika mahasiswa pun memilih diam, siapa lagi yang akan menyuarakan mereka yang dibungkam? Jika mahasiswa hanya sibuk dengan gelar dan pencitraan, lalu siapa yang mau mengambil peran dalam perubahan sosial IPK tinggi bukan dosa. 

Sertifikat prestasi bukan aib. Tapi semua itu akan menjadi kosong jika tidak disertai dengan kepekaan sosial dan aksi nyata di masyarakat. Mahasiswa bukan kolektor piagam atau gelar, tetapi seharusnya adalah pembelajar sejati yang membawa perubahan.

Indonesia tidak butuh lebih banyak sarjana yang pintar di atas kertas kita butuh mahasiswa yang juga pintar merasakan derita rakyat dan berani bertindak di lapangan. 

Saatnya keluar dari zona nyaman kampus, dan bertanya: Apakah gelar yang saya kejar, benar-benar memberi makna bagi sesama?

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • IPK Tinggi, Aksi Sosial Nihil: Mahasiswa atau Kolektor Sertifikat?
« Prev Next »

Jangan lupa ikuti kami di

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Trending Now

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Iklan

.entry-content { line-height: 1.4em; }