Oleh: ZAINAL
Komisioner KPU Bone
Mahasiswa Doktoral Administrasi dan Kebijakan Publik UNHAS
Kabupaten Bone di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan daerah dengan akar sejarah dan budaya pemerintahan lokal yang kuat.
Dalam era demokrasi modern, Bone juga menjadi panggung penting dalam praktik Pilkada serentak, yang dimaksudkan untuk mendorong efisiensi politik dan memperkuat legitimasi pemerintahan daerah.
Namun demikian, efektivitas demokrasi lokal tidak hanya ditentukan oleh proses elektoral, tetapi juga oleh sejauh mana kepala daerah terpilih mampu merancang dan mengeksekusi kebijakan publik yang responsif dan partisipatif, terutama pada masa-masa awal pemerintahannya.
Demokrasi Seremonial dan Tantangan Kelembagaa dilihat Dalam konteks Pilkada serentak, kita sering menyaksikan pergeseran makna demokrasi dari ruang deliberatif menuju arena seremonial.
Di Kabupaten Bone, meskipun proses pemilu berlangsung damai dan terorganisasi, substansi demokrasi masih sering tersandera oleh kepentingan, dominasi elit lokal, dan keterbatasan literasi politik masyarakat.
Menurut Thomas Dye, kebijakan publik pada dasarnya adalah “whatever governments choose to do or not to do". Maka, keputusan kepala daerah pasca-Pilkada menjadi titik kritis, apakah mereka benar-benar akan mengimplementasikan janji kampanye secara sistematis, atau sekadar mempertahankan status quo demi stabilitas politik semu?
Kepala Daerah sebagai Aktor Kebijakan, dimana Bupati-Wakil Bupati Bone terpilih Andi Asman Sulaiman - Andi Akmal Pasluddin merupakan aktor kebijakan utama dalam model policy cycle yang mencakup tahapan formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan.
Dalam konteks Bone, Andi Asman Sulaiman - Andi Akmal Pasluddin dihadapkan pada tuntutan publik yang tinggi dalam sektor-sektor seperti pelayanan dasar, pendidikan, pertanian-ketahanan pangan, digitalisasi tata kelola, peningkatan kualitas infrastruktur kota-desa, dan penguatan ekonomi lokal dan sektor lainnya.
Namun, sebagaimana dikemukakan Charles Lindblom dalam teori Incrementalism, kepala daerah sering kali tidak membuat perubahan besar secara langsung, melainkan cenderung melakukan penyesuaian kecil dan bertahap berdasarkan keterbatasan informasi, sumber daya, dan tekanan politik, seperti yang dilakukan Andi Asman Sulaiman - Andi Akmal Pasluddin memulai dengan peningkatan kedisiplinan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai pelayan masyarakat dalam memberikan layanan dasar, kebersihan kota sampai pelosok daerah, hingga berbagai langka kongkrit dalam menata awal pemerintahan dengan penguatan sinergi dan kordinasi pemerintah provinsi Sulsel sampai pemerintah pusat.
Di sinilah masa 100 hari kerja pertama menjadi penting sebagai indikator komitmen awal dan arah kebijakan strategis.
100 Hari Kerja Andi Asman Sulaiman - Andi Akmal Pasluddin dijadikan Ujian Kepemimpinan dan Akuntabilitas Awal Dalam kerangka administrasi publik, masa 100 hari kerja merupakan bagian dari fase early policy implementation. Ini adalah periode penting untuk menunjukkan arah kepemimpinan, menetapkan agenda prioritas, serta membangun kredibilitas pemerintahan.
Di Kabupaten Bone, masyarakat menanti langkah konkret dari bupati baru, apakah akan ada penataan birokrasi yang berbasis merit, apakah pelayanan publik akan lebih terbuka dan cepat, dan apakah ada kemauan politik untuk membuka ruang partisipasi warga dalam perumusan program pembangunan.
Namun, tanpa kerangka kerja kebijakan yang jelas dan transparan, 100 hari kerja rawan menjadi sekadar panggung pencitraan.
Bahkan bisa menjadi jebakan populisme birokratik jika tidak disertai dengan sistem monitoring dan evaluasi (Monev) yang memadai serta pelibatan aktif masyarakat sipil.
Menyusun Ulang Arah Demokrasi dan Kebijakan di Bone, diharapkan sebagai daerah yang memiliki modal sosial dan historis besar, Bone membutuhkan kepala daerah yang tidak hanya paham politik, tetapi juga memiliki kapasitas kebijakan (policy capacity).
Ada tiga langkah strategis yang bisa mendorong perbaikan: (1) Perkuat institusionalisasi kebijakan public dimana kepala daerah perlu menyusun roadmap pembangunan jangka pendek dan menengah berbasis data, bukan sekadar respons politik jangka pendek; (2) Dorong partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dimana masyarakat Bone harus dilibatkan dalam tahap formulasi kebijakan, bukan hanya dijadikan objek program; (3) Bangun mekanisme evaluasi berbasis kinerja sehingga 100 hari kerja bupati harus disertai dengan indikator keberhasilan yang terukur dan dilaporkan secara terbuka kepada publik.
Pilkada serentak tidak boleh berhenti pada perayaan kemenangan. Demokrasi lokal yang sehat harus dilanjutkan dengan tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan berbasis kebijakan publik yang terencana.
Bupati - Wakil Bupati, Andi Asman Sulaiman - Andi Akmal Pasluddin diharapkan mampu menjadikan 100 hari pertamanya bukan sekadar simbol politik, melainkan titik tolak untuk membangun sistem kebijakan yang inklusif, adaptif, dan berbasis kepentingan masyarakat luas.
Demokrasi lokal yang berhasil adalah ketika kekuasaan tidak hanya dimenangkan secara elektoral, tetapi juga dijalankan secara etis dan efektif untuk menciptakan kemaslahatan bersama. (*)