![]() |
| Guru Honorer Swasta perjuangkan nasib mereka (Foto: Dok. Istimewa) |
TIMURKOTA.COM, MAKASSAR- Kisah pilu datang dari seorang guru honorer sekolah swasta di Sulawesi Selatan yang baru-baru ini mengadu ke DPRD setempat.
Dalam rapat dengar pendapat, guru tersebut mengungkapkan bahwa dirinya hanya menerima gaji Rp100 per bulan selama bertahun-tahun mengabdi.
Pengakuan itu sontak membuat suasana rapat haru dan menyita perhatian publik.
Guru tersebut menyampaikan bahwa penghasilan minim itu bahkan tidak cukup untuk ongkos ke sekolah, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Meski demikian, ia tetap setia mengajar karena menganggap profesi guru adalah panggilan hati.
“Saya tidak bisa meninggalkan anak-anak yang ingin belajar,” tuturnya dengan suara bergetar.
Pihak DPRD Sulawesi Selatan yang mendengar kesaksian tersebut langsung merespons dengan serius.
Beberapa anggota dewan menilai, kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap guru honorer di sekolah swasta.
Mereka berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut dan memanggil pihak yayasan untuk dimintai klarifikasi.
Kisah guru honorer bergaji Rp100 per bulan ini menuai simpati luas di media sosial. Banyak warganet yang menyerukan agar pemerintah daerah memperhatikan kesejahteraan tenaga pendidik swasta.
Kasus ini juga membuka diskusi publik tentang pentingnya regulasi yang adil bagi guru honorer di seluruh Indonesia agar tidak lagi ada tenaga pengajar yang hidup dalam kesulitan di tengah dedikasinya mencerdaskan bangsa.
Dunia Pendidikan di Sulawesi Selatan kembali dikejutkan dengan laporan mengenai kondisi memprihatinkan guru honorer yang mengajar di sekolah swasta.
Dalam rapat dengar pendapat yang diadakan di ruang Komisi E DPRD Sulsel, sejumlah guru honorer mengungkapkan bahwa mereka hanya digaji Rp300 ribu per tiga bulan, dan bahkan ada yang menerima gaji sebesar Rp100 ribu dalam periode yang sama.
Ketua Ikatan Guru Honorer Swasta Sulsel, Selfi, menyampaikan keluhan tersebut dengan penuh harapan.
"Kami datang ke sini untuk menyuarakan nasib rekan-rekan kami yang selama ini terabaikan. Saya sendiri digaji Rp300 ribu per tiga bulan, sementara ada teman-teman yang hanya menerima Rp100 ribu," ungkap Selfi kepada awak media setelah rapat di DPRD Sulsel.
Selfi menjelaskan bahwa gaji yang diterima para guru honorer ini berasal dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Jika dana BOS mengalami keterlambatan, mereka pun tidak mendapatkan gaji.
"Kami sudah mengabdi bertahun-tahun, tetapi kondisi ini sangat menyedihkan," tambahnya.
Komunitas guru honorer yang tergabung dalam organisasi Selfi mencatat ada 288 orang guru yang tidak terdaftar dalam database Badan Kepegawaian.
Hal ini menambah kesulitan bagi mereka untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang seharusnya mereka terima sebagai tenaga pendidik.
Kedatangan mereka ke DPRD Sulsel adalah langkah berani untuk meminta pemerintah memperjuangkan hak-hak mereka.
"Kami ingin agar pemerintah memberikan kesempatan yang sama kepada semua guru, baik yang mengajar di sekolah swasta maupun negeri," tegas Selfi.
Dalam diskusinya dengan anggota DPRD, Selfi menekankan bahwa guru honorer swasta tersebar di tiga instansi: sekolah yang dikelola oleh Pemprov Sulsel, Kementerian Agama (Kemenag), dan dinas pendidikan kabupaten/kota. Mereka berharap agar proposal yang diusulkan dapat dipertimbangkan dan ditindaklanjuti.
"Dari hasil rapat, kami diminta untuk mengusulkan proposal yang memuat rincian gaji honorer per bulan. Kami berharap ini dapat menjadi langkah awal untuk perbaikan," kata Selfi, yang saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kepala Sekolah SMA Raiders Makassar.
Anggota Komisi E DPRD Sulsel, M. Irfan AB, menanggapi aspirasi guru honorer dengan serius.
Ia menjelaskan bahwa regulasi saat ini belum memungkinkan guru swasta untuk mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
"Kami akan menampung aspirasi mereka dan memperjuangkan di tingkat pusat agar guru honorer swasta bisa diakui dan diberikan kesempatan untuk mengikuti seleksi PPPK," ujarnya.
Irfan juga menyoroti minimnya pembinaan dan pengawasan dari Dinas Pendidikan terhadap sekolah swasta yang mengalami kesulitan operasional.
"Banyak sekolah swasta yang memiliki jumlah siswa sedikit, tetapi tetap beroperasi dengan jumlah guru yang tidak sebanding," jelasnya.
Kondisi ini tidak hanya dialami oleh guru honorer, tetapi juga mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam sistem pendidikan di Sulawesi Selatan.
Adanya sekolah swasta dengan jumlah siswa yang sangat sedikit, namun memiliki banyak guru, menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang perlu diperbaiki.
"Ada sekolah yang hanya memiliki 50 siswa tetapi memiliki 15 guru. Ini jelas tidak memungkinkan untuk menjamin kesejahteraan guru-gurunya," tegas Irfan.
Irfan meminta Dinas Pendidikan untuk lebih aktif dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sekolah-sekolah swasta.
"Kami berharap ada upaya nyata dari Dinas Pendidikan untuk membantu sekolah-sekolah swasta yang kesulitan, agar guru-guru mereka bisa mendapatkan gaji yang layak," tambahnya.
Sebagai penutup, Selfi dan rekan-rekannya berharap agar isu ini tidak hanya menjadi pembicaraan di ruang rapat, tetapi bisa berlanjut dengan tindakan nyata dari pemerintah.
Mereka ingin agar setiap guru, terutama yang mengajar di sekolah swasta, mendapatkan hak-hak mereka dan dihargai sesuai dengan pengabdian mereka.
"Ini adalah harapan kami untuk masa depan pendidikan di Sulawesi Selatan. Kami ingin agar guru honorer mendapatkan keadilan dan kesejahteraan yang layak," tutup Selfi dengan penuh harapan. (*)


