Oleh:
Muhammad Alwi, Dosen IAIN Parepare.
![]() |
Gambar ilustrasi |
TIMURKOTA.COM, PARE PARE- Tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Namun lebih dari sekadar seremoni tahunan, momen ini sejatinya merupakan ruang reflektif yang mendalam untuk menakar sejauh mana komitmen kita dalam melindungi, mendidik, dan memberdayakan anak-anak sebagai subjek utama pembangunan.
Di tengah euforia perayaan, kita tidak boleh alpa bahwa kualitas masa depan bangsa akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan anak-anak hari ini.
Pengalaman pribadi saya sebagai seorang ayah selama lebih dari satu tahun membuka perspektif baru bahwa anak bukan hanya objek kasih sayang, tetapi juga sumber nilai, pembelajaran, dan tanggung jawab kemanusiaan. Di dalam tatap mata seorang anak, saya melihat harapan dan juga amanah peradaban.
Maka menjadi ayah bukan hanya peran domestik, melainkan panggilan sosial dan etis yang tak dapat diabaikan.
Refleksi ini selaras dengan laporan tahunan Sustainable Development Goals (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2024. Dalam laporan tersebut ditegaskan bahwa anak-anak di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia masih menghadapi tantangan serius: keterbatasan akses terhadap pendidikan berkualitas (SDG 4), ancaman kekurangan gizi (SDG 2), ketidaksetaraan pelayanan kesehatan (SDG 3), hingga paparan terhadap eksploitasi dan kekerasan (SDG 16).
Laporan tersebut mengingatkan bahwa berbagai krisis global mulai dari pandemi, ketimpangan ekonomi, hingga perubahan iklim berdampak langsung terhadap kualitas hidup dan masa depan anak. Ironisnya, mereka yang paling tidak berkontribusi terhadap krisis-krisis ini justru menjadi pihak yang paling rentan terdampak.
Dalam konteks Indonesia, peringatan Hari Anak Nasional seharusnya menjadi panggilan kolektif bagi seluruh pemangku kepentingan: negara, akademisi, masyarakat sipil, dan keluarga, untuk memperkuat langkah nyata dalam melindungi hak-hak anak. Perlindungan itu bukan sekadar formalitas hukum, tetapi harus hadir dalam kebijakan publik yang berpihak, sistem pendidikan yang manusiawi, serta pola asuh keluarga yang penuh empati.
Hari Anak Nasional perlu diletakkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, di mana investasi terhadap kesejahteraan anak adalah investasi jangka panjang terhadap daya saing bangsa. Pendidikan anak tidak boleh dilihat sebagai beban fiskal, tetapi sebagai pondasi transformasi sosial.
Kesehatan dan gizi anak bukan sekadar urusan sektor kesehatan, melainkan indikator keberadaban suatu bangsa.
Sudah saatnya kita bergerak dari euforia perayaan menuju etos perlindungan yang konkret dan terukur.
Karena sesungguhnya, membangun anak-anak hari ini adalah membangun Indonesia esok hari. Jika anak-anak kita dibiarkan tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman, tidak sehat, dan tidak adil, maka kita sedang menggali jurang masa depan bangsa kita sendiri.
Dalam peringatan Hari Anak Nasional ini, mari kita perkuat kembali komitmen kolektif terhadap masa depan anak Indonesia. Seperti yang dikatakan Nelson Mandela: "There can be no keener revelation of a society's soul than the way in which it treats its children." (*)