Iklan

Senjakala Legitimasi: Degradasi Kepercayaan Terhadap Pejabat Publik di Bawah Otoritarianisme Kenaikan PBB-P2

tim redaksi timurkotacom
Jumat, Agustus 15, 2025 | 9:37 AM WIB Last Updated 2025-08-15T02:37:02Z

Oleh : Ahmad Suryadi
Dosen Program Studi Hukum Bisnis




TIMURKOTA.COM- Gerakan people power terhadap kebijakan Kenaikan PBB-P2 terus bergelorah dan semakin masif, kecenderungan perlawanan atas kebijakan ini dimulai dengan pemahaman yang keliruh oleh kepala daerah terhadap penafsiran himbauan yang sifatnya rekomendasi dari kemenkeu & kemendagri atas berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (UU HKPD). 

Beberapa kepala daerah yang mendapatkan protes keras seperti pada Pati di Jawa Tengah dan Bone di Sulawesi selatan menerapkan kenaikan pajak PBB P2 yang signifikan dan tentunya berdampak langsung pada masyarakat di masing-masing wilayahnya.

Berbagai issue yang melatar belakangi mengapa kebijakan ini terasa otoritarianisme dan memberikan dampak yang luar biasa dengan menurunnya tingkat kepercayaan publik pada pejabat kepala daerahnya dikarenakan ada kesenjangan antara penetapan kebijakan pusat dan kebijakan daerah yang dimana indikatornya adalah efisiensi anggaran, perlambatan transfer pusat, berkurangnya dana bagi hasil sumber daya alam, dan stagnasi retribusi yang mengakibatkan beberapa daerah mengalami penurunan pendapatan daerah dalam APBD. Akan tetapi, apakah indikator itu mutlak dijadikan sebagai alasan pembenaran kepala daerah untuk menaikkan tarif PBB-P2? Jawabannya tentu tidak.  

Jelas ini hanya merupakan akal-akalan pemerintah daerah dengan menaikkan tarif PBB-P2 secara prakmatis untuk mendapatkan deviden, ketidakmampuan kepala daerah dalam mengelola dan mengatur keuangan daerah menjadi landasan kebijakan otoritarianisme kenaikan tarif PBB P2 sebagai jalur yang instan untuk menutupi kegagalan pengelolaan keuangan daerah.

Dalam regulasi dan perundang-undangan disebutkan secara inplisit bahwa penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) kewenangannya berada di tangan pemerintah daerah yang artinya bahwa sifat dari keberlakuan rekomendasi dari kemenkeu & kemendagri atas berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 2022 boleh dipakai dan boleh tidak dipakai. 

Celakanya kepala daerah bersandar pada alasan pembenaran pemberian rekomendasi tersebut sehingga saling melempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bahkan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) yang berdampak pada degradasi kepercayaan terhadap pejabat publik.

Senjakala legitimasi ini dengan memaksakan kenaikan tarif PBB P2 berpotensi menimbulkan gerakan penolakan yang semakin besar dan akan terbentuk disorder law yang ujungnya menimbulkan chaos, hal ini tentu harus dipikirkan secara bijak oleh kepala daerah dengan membatalkan kenaikan tarif pajak dari PBB P2 itu, diperparah dengan situasi ekonomi yang semakin memburuk mencerminkan bahwa banyak kepala daerah yang tidak menghiraukan beban rakyat terutama bagi kelompok rentan dan kelas menengah bawah dengan manipulasi-manipulasi kewenangan yang buruk.

Ada banyak opsi yang dapat dilakukan oleh kepala daerah untuk mengelola dan mengatur keuangan daerahnya tanpa harus menaikkan rasio tinggi tarif pajak dari PBB P2 seperti memperluas objek pajak, pendataan subjek pajak yang lebih berkeadilan, menutup kebocoran pajak, identifikasi wajib pajak dengan membedakan kelompok rentan dan kelas menengah bawah dengan kelompok kemampuan pendapatan lebih. 

Pemda memiliki banyak opsi lain yang keberlakuannya bisa berkelanjutan untuk menambah pendapatan daerah tanpa langsung menaikkan tarif PBB-P2 yang mencekik rakyat kecil dan melahirkan kebijakan otoriter.

Kepala daerah tidak boleh menjadi kepala batu dan tangan besi dalam persoalan ini, dikarenakan ini mencakup hajat hidup rakyat yang mereka pimpin di Wilayahnya, kegagalan pengelolaan keuangan dan pendapatan daerah yang tidak mampu di atasi oleh Kepala daerah dengan memilih opsi menaikkan tarif pajak secara instan tidak boleh ditukar dengan kehidupan rakyat. 

Hal yang harus dilakukan oleh kepala daerah, kedepannya jika diharuskan ada penyesuaian tarif maka harus ditetapkan secara bertahap dengan roadmap penyesuaian dan kompensasi bagi kelompok rentan yang kebijakannya berpihak pada rakyat.

Di luar sektor pajak, daerah dapat mengoptimalkan kemandirian Desa dengan melibatkan perguruan tinggi atau ahli dalam mendampingi kepala desa untuk membuat komiditi ekonomi di masing-masing desanya agar BUMDes berjalan dan terdapat kenaikan nilai PADes yang tentunya akan memberikan kontribusi pada pendapatan daerah untuk APBD. 

Selain itu, pengelolaan yang strategis dan profesional BUMD untuk sektor potensial seperti air bersih, energi, dan pariwisata lokal, serta mengelola aset daerah yang selama ini tidak optimal melalui skema kerja sama pemanfaatan dengan pihak lain sebagai upaya meningkatkan pendapatan asli daerah.

Langkah-langkah ini membutuhkan keberpihakan dan komitmen yang kuat dari kepala daerah, bukan malah menjadi otoriter dalam menentukan kebijakan dan menggunakan konsep otoriter dalam logika birokrasi. (*)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Senjakala Legitimasi: Degradasi Kepercayaan Terhadap Pejabat Publik di Bawah Otoritarianisme Kenaikan PBB-P2
« Prev Next »

Jangan lupa ikuti kami di

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Trending Now

Konten Berbayar berikut dibuat dan disajikan advertiser. Wartawan timurkota.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.

Iklan

.entry-content { line-height: 1.4em; }